Selasa, 26 Februari 2013

AL KINDI


SEJARAH SINGKAT AL KINDI

  1. Biografi Al Kindi

Al Kindi adalah filosof pertama dalam dunia filsafat islam. Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol, hal ini terutama karena dia adalah filosof muslim yang berusaha untuk menyelaraskan agama dan filsafat.[1] Posisi Al Kindi yang meyakini bahwa agama dan filsafrat atau nalar dan wahyu bias diselaraskan kemudian terulang kembali dalam sejarah peradaban manusia beberapa abad kemudian.
Nama lengkap al Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub Al Kindi. Ia berasal dari suku Kindah dari negri yaman. Ayahnya bernama Ashaq bin al-Shabah, yang pada masa pemerintahan Al Mahdi dan Harun al Rasyid pernah menjabat sebagai gubernur Kuffah.[2] Nama Al Kindi berasal dari satu suku arab yang besar sebelum Islam yaitu suku Kindah. Kakeknya Asy’ats bib Qais, dikenal sebagai sahabat nabi SAW. Kota Kuffah sebagai kota kelahirannya juga menjadi kota dimana dia pernah mengais ilmu tata bahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung dan menghafal Al quran. Kota Kuffah yang telah maju pesat perkembangan ilmu pengetahuannya merangsang Al Kindi untuik mempelajari ilmu filsafat.[3]
Tak lama kemudian Ia berpindah ke Kota Baghdad, yang kala itu menjadi ibukota kekholifahan Bani Abbas dan pusat keilmuan. Bakat keilmuan Al Kindi semakin berkembang, karena disitulah Al Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yaitu al Makmun, al Mu’tasyim dan al Watsiq. Bentuk dukungan yang diberikan oleh ketiga kholifah itu pada Al Kindi bias dibuktikan dengan diundangnya al Kindi oleh Kholifah al Makmun untuk mengajar pada Bait al Hikmah dan pengasuh putera Kholifah al Mu’tashim yang bernama Ahmad.[4] 

B. Karya-karya Al Kindi

Beberapa klarya Al Kindi antara lain sebagai berikut. :
1.    Fi al-Falasifah al-Ula (Tempat Filsafat pertama) yang mendifinisikannya sebagai pengetahuan Sang Mahatma DAN Maha Esa yang memberi jalan terbentangnya kebenaran.
2.    Al Hadits ‘ala Ta’allum al-Falasifah. (Anjuran untuk belajar filsafat) risalah inji tampaknya banyak terilhami dari rangkaian karangan kuno, seperti Protrepticus  karya Aristotales serta Jamblichus dan Hortensius karya Cicero.[5]
3.    fi al-Radd ‘ala al-Mananiah (Penolakan penganut manichaeisme) dan Masa’il al-Mithidin (tentang pernyataan-pernyataan kaum Atheis) mencerminkan simpatinya yang mendalam kepada Mu’tazillah.
4.    Maqalah fi al-‘Aql (pembahasan tenmtang akal) dalam buku ini al Kindi mengembangkan tema tentang intelek (‘aql). Sejak masa aristotales dan para komentar Yunani. Al-Kindi membedakan empat bagian intelek, pertama, intelek yang selalu dalam aksi. Kedua, intelek yang masih dalam bentuk potensi (intelek potensial). Ketiga, intelek yang telah melewati keadaan potensial menuju keadaan actualnya, dan yang keempat, intelek yang manifest yang berfungsi mengabstraksikan bentuk-bentuk unifersal dari segenap benda meteriil.[6]
5.    Al-Hilal li-Daf al-Ahzan (kiat menghindari kesedihan) dalam risalah ini al-Kindi mendifinisikannya sebagi rasa sakit yang dialami seseorang setelah putus harapan atau gagal meraih apa yang didambakan. Bagi al-Kindi, perenungan sesaat akan menyadarkan seseorang bahwa di dunia yang fana ini tidak ada yang bias mempertahankan kesenangan atau memperoleh semua yang didambakan.[7]
6.    Risalah fi al-Ibanah an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qoribah li al-Kawn wa al-Fasad. (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusajkannya)[8]
7.    Risalah al-Hikmiyyah fi Asrar al-Ruhaniyah (kajian-kajian filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual)[9]
8.    Kitab fi Ibarah al-Jawani al-Fikriyah (Tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif)
9.    Risalah fi Ananahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan).[10]
Masih banyak lagi karya-karya al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi terdapat perselisihan para ahli, khususnya karya-karya asli yang berbentuk buku. Karya terjemahanya banyak berasal dari buku-buku Yunani yang diterjem,ahkan kedalam bahasa arab.

  
JEMBATAN ANTARA FILSAFAT DAN AGAMA

  1. Hubungan Antara Filsafat dan Agama

Al Kindi mengarahkan Filsafat Islam kearah kesesuaian antara agama dan Filsafat, filsafat berdasarkan akal dan agama berdasarkan wahyu. Logika adalah metode filsafat, sedang iman merupakan logika dan hakikat-hakikat jalan agama. Keselarasan antara agama dan filsafat didasarkan pada tiga alasan, yaitu ; (1.) Bahwa ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) Antara wahyu dean filsafat terdapat kesesuaian, (3) Menuntut ilmu secara logika diperintah agama.[11]
Dalam risalah, Al Kindi memberikan distingsi yang sangat tegas antara agam dan filsafat. Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa ilmu agama adalah bagian dari filsafat, dalam risalah Al Kindi menuliskan sejumlah perbedaan antara agama dan filsafat, yaitu :
1.      Bahwa kedudukan teologi agama lebih tinggi disbanding filsafat.
2.      Ilmu agama merupaka ilmu illahiah sedangkan filsafat ilmu insaniyah.
3.      Jalur agama adalah keimanan sedangkan jalur filsafat adalah akal.[12]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikatsegala sesuatu, dan ini mengandung teologi, ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Al Kindi lebih lanjut mengatakan bahwa filsafat dan agama tidak dapat bertentangan, oleh karena itu, filsafat dan agama sama-sama membawa inovasi kebenaran. Menurut Al Kindi kebenaran yang dicari oleh para filsof tidak berbeda dengan kebenarang yang disampaikan Nabi Muhammad yang berkata benar serta diterimanya dari Allah.[13]

  1. Tentang Keesaan Tuhan
Al Kindi mngemukakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada dalam akal dan apa yang ada di luar akal, bahwa setiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat Ainiyah dan hakikat Kullliyah yang sebenarnya Mahiah atau hakikat yang bersifat universal yang mengambil bentuk Genus dan Species[14]
Menurut Al Kindi Tuhan adalah yang tinggi dan benar serta dapat disifati dengan sebutan-sebutan Negatif, seperti Tuhan bukan Materi, tak berbentuk, tak berjumlah dan tidak berhubungan. Tuhan juga tidak dapat disifatidengan cirri-ciri yang ada di alam. Tuhan tak berjenis, tak terbagi, tak berkejadian, Ia abadi, oleh karena itu, Ia esa dan selainnya adalah terbilang.[15] Menurutnya Tuhan tidak mempunyai hakekat, baik secara Juz’iyah maupun Kulliyah. Dari pemahaman ini ia berkesimpulan bahwa tidak benar bila sifat-sifat Tuhan berdiri sendiri dari dzatNya, Tuhan haruslah mempunyai keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap oleh indra.[16]
Dalil Al Kindi dalam membahas kemaujudan Allah lagi-lagi hamper sama dengan filsof Islam lainnya, yaitu bertumpu pada keyakinan dan hubungan sebab akibat (hokum kausalitas), sesuatu yang maujud pasti ada yang mewujudkannya.. namun harus ada sebab pertama atau sebab sejati, yaitu tiada lain hanyalah Allah.[17] Dengan kata lain Al Kindi mengikuti jalur logika.

  1. Proses Penciptaan Alam

Dalam masalah penciptaan alam, Al Kindi menyanggah teori tentang ke-qodi-man alam, seperti apa yang telah dikemukakan oleh Aristotales. Menurutnya alam diciptakan dari tidak ada menjadi ada, di alam ini juga terdapat berbagai gerakyang menjaikan dan gerak yang merusak.[18]  Al Kindi juga mengemukakan bahwa alam ini terdiri dari dua bagian, yaitu alam dibawah falak dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak sampai ujung alam. Alam tidak kekal karena ala mini terdiri dari benda-benda fisik yang terjadi dari materi dan bentuk, serta bergerak dal;am ruang dan waktu.[19] Dengan demikian, maka setiap benda yang terjadi dari materi dan bentuk, yang terbatas oleh ruang dan waktu, adalah terbatas. Meski benda itu wujud dunia, karena benda itu terbatas maka tidak kekal yang kekal hanyalah Allah.

  1. Masalah Ruh dan Jiwa

Menurut Al Kindi ruh dan jiwa berbeda dan terpisah dari badan dan ia mempunyai wujud sendiri, ruh adalah wujud sederhana, dan dzatnya tercampur dari sang pencipta, persis sperti cahaya matahari dengan matahai. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh.[20]  Ali Kindi juga berpendapat bahwa bahwa ruh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dari tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya.[21]
Argument yang dikemukakan AlKindi untuk menjelaskan perlainan ruh dari badan itu ialah perlainan dari badan yang mempunyai hawa nafsu, sifat pemarah dan lain-lain. Sedangkan ruh menentang keinginan hawa nafsu. Selain itu, ruh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya tubuh. Hal ini disebabkan substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. [22]


DAFTAR PUSTAKA

  1. Sucipto Heri. “Cahaya Islam (Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
  2. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001.
  3. Drs. Fakhry Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Gramedia, Jakarta. 1998.


[1] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islan, Gramedia, Jakarta. 1998.
[2] Ibid,
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
[4] Ibid,
[5] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islan, Gramedia, Jakarta. 1998.
[6] Ibid hal 88
[7] Ibid, h. 26
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h. 17
[9] Ibid,
[10] Ibid .
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h. 18
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001,
[15] Ibid.
[16] Sucipto Heri. “Cahaya Islam (Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
[17] Ibid.
[18] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit h.27
[19] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit.
[20] Op,Cit.
[21] Sucipto Heri. “Cahaya Islam (Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
[22] Ibid,

Minggu, 24 Februari 2013

ANALISA SOSIAL


Analisa Sosial: Pengenalan Paradigma Dan Teori Sosial
“Pisau Analisis Atas Realitas Sosial”

Paradigma-Teori Sosial
Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
          Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
          Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
          Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi.  Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).
          Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
          Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.
          Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga  menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
          Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
          Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
          Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
          Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
          Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
          Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Tentang paradigma itu sendiri, Ritzer memberi penjelasan bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan mengubung-hubungkan antara exsemplar, teori-teori, metode serta peralatan analisis yang terkandung didalammya. Dalam bukunya Ritzer merinci dalam cabang ilmu sosiologi terdapat 3 paradigma yang tiap paradigma mempunyai exsemplar, bangunan teori dan metode serta instrument yang digunakan untuk menganalisis.
Secara garis besar penjelasan Ritzer dapat kita lihat pada tabel berikut:
Ilmu Sosiologi

Paradigma
Tokoh Utama
Exemplar dan pokok persoalan
Teori-teori
metode
Fakta Sosial
Emile Durkheim
Structur makro sosial dan pranata sosial
1. Fungsionalis Structuralis
2. Konflik
3. Sistem
4. Sosiologi makro
Kuisioner dan interview
Definisi Sosial
Max Weber
Aksi dan interaksi sosial
1. Aksi
2. Interaksionis Simbolik
3. Fenome -nologi
Observasi dengan 4 tipe:
1. Participant observation
2. Partisipant as observer
3. Observes as participant
4. Complete observer
Perilaku Sosial
B.F. Skinner
Tingkahlaku dan perulangan tingkahlaku
1. Behavioral Sociology
2. Exchange
Experimental
Terkadang juga menggunakan kuisioner, interview dan observasi
Dari ketiga paradigma diatas meskipun dalam kemunculan dan perkembangan awalnya sempat terjadi gejolak dan saling serang antar penganut paradigma, namun dalam perkembangan selanjutnya para ahli banyak yang berusaha membebaskan diri dari pembagian paradigma secara extrim tersebut. Menurur Ritzer sebenarnya perbedaan antara ketiga paradigma diatas hanya bersifat estetis dimana perbedaan itu terdapat pada pengalaman peneliti dilapangan serta adanya perbedaan yang hanya bersifat sugestif (bukan extrim) tentang tiga variabel (berdasatkan penelitian Brown dan Gilmartin) , yaitu sebagai berikut:
Variabel
Paradigma
Individu
Individu—Group
Group
Perilaku Sosial
Definisi Sosial
Fakta Sosial
Tahap ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh yang berusaha mmbuat jembatan paradigma dalam sosiologi misal Durkheim, Weber, Marx, Parsons. Apabila Durkheim, Weber, Marx berusaha menjembatani antara paradigma fakta sosial dan dan definisi sosial (lihat babII), sedangkan Parsons berbicara tentang menyatukan ketiga paradigma diatas, ia juga mengintegrasikan pandangan psikologi dari penganut Freud dan aliran antropologi dan ia cenderung bergerak dari satu paradigma ke paradigma yang lain. Perdamaian paradikmatik dan teoritis juga ditandai dengan berakhirnya pertentangan antara teori konflik dengan teori fungsionalis strukturalis bila dilihat dengan konsep paradigma akan ditemukan sejumlah kesamaan asumsi dan perspektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada dalam ketiga paradigma diatas dan kedua teori diatas bukan merupakan perbedaan yang mendasar. Menginggat tiada satu paradigma yang berdiri tanpa kelemahan dan akibat negatif selama ini oleh “perang paradigma”, maka dari itu upaya besar kemungkinan untuk membuat paradigma terpadu dengan tujuan akhir memantapkan dan demi kemajuan ilmu Sosiologi.
Adanya jembatan paradigma dan perdamaian paradigma mendorong Ritzer untuk membentuk paradigma terpadu. Pembentukan paradigma terpadu yang diusahakan Ritzer berdasarkan ahli-ahli terdahulu, utamanya dari Kuhn dan para tokoh penjembatan paradigma (Durkheim, Weber, Marx, Parsons).
Diawali oleh uraian Kuhn tentang konsep paradigma dan penjelasan bahwa tiada paradigma itu yang dominan diantara paradigma yang lain karena perkembangan ilmu pengetahuan bukannya bersifat kumulatif melainkan bersifat revolusi: Paradigma I —>Normal Sc. —>Anomalies —>Crisis —>Revolusi —> Paradigma II
Selanjutnya paradigma terpadu yang disusun Ritzer dari tokoh penjembatan paradigma adalah dia mengangkat model “tingkatan realitas sosial” untuk menerangkan kompleksibilitas yang sangat luas dalam subjek-matter sosiologi, maka model ini merupakan abstraksi dalam berbagai tingkat kepentingan analisa dan lebih merupakan suatu konstrak sosiologis daripada keadaan sebenarnya. Tingkatan realitas sosial dapat diperoleh dari inter-relasi antara dua kontinum sosial, yaitu makroskopik - mikroskopik dan kontinum obyektif - subyektif untuk mengacu apakah sesuatu itu nyata atau didalam alam ide. Gambaran tingkatan umum realitas sosial dapat dilihat dalam bagan berikut:

  
Ada 4 buah paradigma yang ada pada sosiologi dan penerapannya.
1. Functionalist Paradigm ( Objective – Regulation )
Paradigma ini merupakan paradigma yang dominan pada studi organisasi. Paradigma ini menyediakan penjelasan yang rasional tentang masalah kemanusiaan. Pada dasarnya paradigma ini bersifat pragmatis dan mengakar kepada konsep positivisme. Hubungan-hubungan yang ada bersifat konkret dan bisa diidentifikasi, dipelajari, dan diukur melalui media ilmiah. Paradigma ini dipengaruhi oleh idealis dan marxis.
2. Interpretive Paradigm ( Subjective – Regulation )
Paradigma ini menjelaskan tentang kestabilan perilaku dalam pandangan seseorang individual. Paradigma ini memfokuskan pada pemahaman mengenai dunia yang diciptakan secara subjektif apa adanya serta prosesnya. Filosofer seperti Kant membentuk dasar dari paradigma ini, sementara Weber, Husserlm dan Schutz melanjutkan ideologi ini.
3. Radical Humanist ( Subjective – Radical Change )
Pada pandangan paradigma ini, kesadaran seseorang didominasi oleh struktur ideologinya, cara pandang hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan. Hal ini akan mengarahkan hubungan kognitif antara dirinya dan kesadaran sebenarnya, sehingga mencegah pemenuhan kepuasan pada manusia. Para pendukung teori ini memfokuskan pada pembentukan batasan sosial yang mengikat potensial. Filosofer yang mendukung teori ini antara lain Kant dan Hegel dan Marx. Paradigma ini dapat dipandang sebagai paradigma yang anti organisasi.
4. Radical Structuralist ( Objective – Radical Change )
Paradigma ini mempercayai bahwa perubahan radikal dibentuk pada sifat struktur sosial. Masyarakat kontemporer dapat dikarakteristikan dengan konflik fundamental yang akan menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini berdasarkan pada Marx dewasa, yang diikuti oleh Engles, Lenin, dan Bukharin. Paradigma ini memiliki sedikit perhatian di Amerika Serikat diluar teori konflik.
Teori regulation lebih melakukan eksplorasi pada kesatuan masyarakat dan kohesivitas. Pada radical change, fokus terdapat pada konflik struktural, dominasi, dan kontradiksi struktural.

Peran dan Fungsi Ansos
Ada beberapa peran dan fungsi analisa sosial dalam masyarakat, yaitu:
  1. Mengetahui struktur-supra struktur dalam sebuah komunitas atau masyarakat.
  2. Menelanjangi ideologi-kepentingan yang ada di masyarakat.
  3. Mengetahui akar masalah-sumber konflik demi kepentingan integrasi sosial.
  4. Pastinya fungsi-kepentingan ansos (subjektifias) sesuai dengan perubahan masyarakat dkk

Penutup
Bahwa seseorang dapat mengerti batasan debat sosiologi dengan cara memetakan teori pada sebuah peta 2 dimensi dengan debat subjektif-objektif pada satu sumbu dan pada sumbu lainnya (regulation-radical change). Setiap kuadran berhubungan pada paradigma yang ada di sosiologi. Salam Tangan terkepal dan Maju kemuka..

Sabtu, 23 Februari 2013

Ibnu Rusyd


Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam.
Dilahirkan pada 1126 M di Cordova (Spanyol--red), Ibnu Rusyd bernama lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di Barat, ia dikenal sebagai Averrous. Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu pengetahuan dan tergolong masyhur di kota Cordova.

Itu yang membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talen serta kejeniusan yang luar biasa sejak masa kanaknya. Sementara, ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini pula yang menurun kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di Cordova.
Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.
Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran filsafatnya, berupaya menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah menyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena. Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya.
Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika Utara ini hingga wafatnya pada 1198 M.

Pemikiran Rusyd
Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz.
Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.
Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.
Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:
Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.
Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.

Barat Terkagum Karya Rusyd
Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et j'averroisme mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam "Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa dari pada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.
"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker, atau seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.
Selain Tahaafutut Tahaafut, beberapa karya besar Rusyd lain adalah Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran) yang telah diterjemahkan ke bahasa latin dan menjadi rujukan penting kedokteran; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Kitab permulaan bagi mujtahid dan akhir makna/maksud); Kitab Fashl al Maqal fii ma Baina Syariah wa al Hilmah min al Ittisal, (menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan); Al Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqaid al Millah (menyingkap masalah metodologi dan dalil-dalil kaum filsuf dalam keyakinan beragama).