Bisnis bisa berkembang menjadi sebuah profesi yang
luhur atau etis. Ini berarti bisnis perlu dijalankan secara etis. Apakah ada
eetika bisnis ?. Etika bisnis untuk pertama-tama memperlihatkan
bahwa memang bisnis perlu
etika, bukan hanya berdasarkan tuntutan etis belaka melainkan juga berdasarkan
tuntutan kelangsungan bisnis itu sendiri.
1.
Mitos
Bisnis Amoral
Bisnis
adalah bisnis. Bisnis jangan disamakan dengan etika. Ianjlah ungkapan yang oleh
De George disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan atau mitos ini
menggambarkan dengan jelas anggapan atau keyakinan orang bisnis, sejauh mereka
menerima mitos seperti itu, tentang dirinya, kegiatannya, dan lingkungan
kerjanya. Yang mau digambarkan disini adalah bahwa kerja orang bisnis adalah
berbisnis dan bukan beretik. Atau secara lebin tepat, mitos bisnis amoral
mengungkapkan keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada
hubungan sama sekali. Bisnis tidak punya sangku paut dengan etika dan
moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu
bisnis tidak boleh dinilai dengan menggunakan norma dan nilai-nilai etika.
Bisnis dan etika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak boleh
dicampuradukkan. Kalau itu dilakukan, telah terjadi sebuah kesalahan kategoris.
Kegiatan
orang bisnis adalah melakukan bisnis sebaik mungkin untuk mendapat keuntungan,
maka yang menjadi pusat perhatian orang bisnis adalah bagaimana memproduksi,
mengedarkan, menjual dan membeli barang dengan memperoleh keuntungan.
Singkatnya, sasaran dan tujuan, bahkan tujuan satu-satunya dari bisnis adalah
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.
Untuk
memperlihatkan kebenaran mitos bisnis amoral tersebut, bisnis diibaratkan
sebagai permainan judi.
Pertama,
seperti halnya judi, atau permainan pada umumnya, bisnis adalah sebuah bentuk
persaingan (yang mengutamakan kepentingan pribadi). Sebagai sebuah bentuk
persaingan semua orang yang terlibat di dalamnya selalu berusaha dengan segala
macam cara dan upaya untuk bisa menang. Dengan kata lain, bisnis, sebagaimana
permainan penuh persaingan ketat lainnya, cenderung menghalalkan segala cara
demi memperoleh keuntungan. Yang utama bagi orang bisnis adalah bagaimana bisa
menang dalam persaingan yang ketat, bagaimana bisa untung sebesar-besarnya.
Karena itu segala peluang dan cara dipakai untuk bisa meraup keuntungan.
Kedua,
aturan yang dipaki dalam permainan penuh persaingan itu berbeda dari aturan
yang ada dan dikenal dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Ketiga,
orang bisnis yang masih mau mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan di tengah persaingan ketet tersebut. Dengan kata lain, di
tengah persaingan bisnis yang ketat, orang yang masih memperhatikan etika dan
moralitas akan kalah, merugi, dan tersingkir dengan sendirinya.
Argumen-argumen
di atas masih diperkuat oleh dua argumen lain sebagai berikut. Pertama, jika
suatu permainan (judi) mempunyai aturan yang diterima dan dibenarkan secara
legal – jadi ada aturan mainnya – dengan sendirinya praktek permainan tersebut
pun diterima dan dibenarkan secara moral. Kedua, jika suatu praktek begitu umum
diterima dan dijalankan di mana-mana sehingga menjadi semacam norma, semua
orang lain tinggal menyesuaikan diri dengan praktek semacam itu.
Kesimpulannya;
bisnis dan etika adalah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain.
Bahkan sebagaimana diungkapkan salah satu argumen di atas, etika justru
bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku bisnis kalah dalam
persaingan bisnis yang ketat. Maka, orang bisnis tidak perlu memeperhatikan
imbauan-imbauan, norma-norma, dan nilai-nilai moral.
Ada
beberapa argmen ayang dapat diajukan untuk memperllihatkan bahwa mitos bisnis
amoral sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Bahkan orang bisnis yang tulen,
yang bervisi masa depan dalam jangka panjang, akan sulit menerima kebenaran
mitos tersebut.
Bisnis
memang sering diibaeratkan dengan judi bahkan sudah dianggap sebagai semacam
judi atau permainan penuh persaingan yang ketat. Tidak ada orang yang membantah
itu. Namun bisnis tidak sepenuhnya seratus persen sama dengan judi atau
permainan.
Tidak
sepenuhnya benar bahwa sebagai sebuah permainan (judi), dunia bisnis mempunyai
aturan main sendiri yang berbeda sama sekali dari aturan yang berlaku dalam
kehidupan sosial pada umumnya. Karena kegiatan bisnis adalah kegiatan manusia,
bisnnis dapat dan memang pada tempatnya untuk dinilai dari sudut pandang moral,
dari sudut pandang baik buruknya tindakan manusia bisnis sejauh sebagai
manusia, persis sama seperti semua kegiatan manusia lainnya juga dinilai dari
sudut pandang moral.
Harus
dibedakan antara legalitas dan moraliltas. Suatu praktek atau kegiatan mungkin
saja dibenarkan dan diterima secara legal karena ada dasar hukumnya. Praktek
monopoli yang didukung kebijaksanaan pemerintah adalah contoh yang tepat
disini.
Etika
harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris, suatu gejala atau fakta
yang berulang terus dan terjadi di mana-mana menjadi alasan yang sah bagi kita
untuk menarik sebuah teori atau hukum ilmiah yang sah dan universal.
Gerakan
dan aksi protes seperti lingkungan hidup, konsumen, buruh, wanita, dan
semacamnya dengan jelas menunjukkan nahwa masyarakat tetap mengharapkan agar
bisnis dijalankan secara baik dan etis dengan memperhatikan masalah lingkungan
hidup, hak konsumen, hak buruh, hak wanita, dan seterusnya.
2.
Keutungan
dan Etika
Perlu
digarisbawahi sejak sekarang bahwa tujuan utama bisnis adalah mengejar
keuntunga. Karena pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam
kegiatan berbisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik
modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan kerena itu berarti tidak akan
terjadi aktifitas ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang
menjamin kemakmuran nasional.
Ada
beberapa argumen yang dapat diajukan di sini untuk menunjukkan bahwa justru
demi memperoleh keuntungan etika sangat dibutuhkan. Pertama, dalam bisnis
modern dewasa ini para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
professional dibidangnya.
Kedua,
dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa
konsumen adalah benar-benar raja. Karena itu, hal yang paling pokok untuk bisa
untung dan bertahan dalam pasar penuh persaingan adalah sejauh mana suatu
perusahaann bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan konsumen.
Ketiga,
dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat nettral tak
berpihak tetapi efektif mejaga agar kepentingan dan hak semua pihak dijamin,
para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan
pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan bisnisnya. Salah
satu yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya secara baik dan
etis, yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara sengaja
merugikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Keempat,
perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah
tenaga yang siap untuk dieksploitasi demi mengeruk keuntungan
sebesasr-besarnya. Dalam bisnis yang penuh persaingan ketat, karyawan adalah orang-orang
profesional yang tidak mudah digantikan. Karena mengganti seorang tenaga
profesional akan sangat merugikan baik dari segi finansial, waktu, energi,
irama kerja perusahaan, team-work, momentum, dan seterusnya. Dalam persaingan
yang ketat, mengganti profesional yang ada berarti kalah selangkah.
Kenyataan
ini memaksa perusahaan-perusahaan modern untuk memperhatikan hak dan
kepentingan karyawan sebaik-baiknya serta berusaha menjaga agar mereka merasa
betah bekerja pada perusahaan tersebut. Termasuk dalam usaha tersebut adalah
memberikan gaji yang baik, penghargaan yang baik, sikap yang baik, suasana
kerja yang baik, perlakuan yang adil dan fair kepada semua karyawan atas
dasar-dasar yang rasional dan objektif, perlakuan yang manusiawi, jaminan terhadap
hak-hak karyawan, dan sebagainya.
Tidak
berlebihan kalau Kenneth Blanchard dan Norman Vincet Peale mengatakan bahwa
perlakuan yang baik terhadap karyawan telah menaikkan keuntungan perusahaan
sebesar 20 persen atau telah menurunkan harga produk perusahaan yang
bersangkukra sebesar 20 persen.
Dengan
perlakuan yang baik, kerugian-kerugian yang disebabkan oleh sikap dan perilaku
buruk di pihak karyawan dan dicegah dan dengan demikian dapat menaikkan
keuntungan bagi perusahaan atau sebaliknya menurunkan harga jual produk karena
kurangnya biaya yang tidak perlu untuk menutup kerugian-kerugian yang tidak
perlu tadi.
Mitos
bisnis amoral adalah mitos yang tidak benar. Anggapan bahwa bisnis adalah
kegiatan yang amoral, yaitu kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
moralitas, adalah sama sekali tidak benar. Bisnis sangat berkaitan dengan etika
bahkan sanagat mengandalkan etika. Dengan kata lain, bisnis memang punya etika
dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk dibicarakan. Argumen mengenai
kaitan antara tujuan bisnis mencari keuntungan dan etika memperlihatkan secara
gamblang bahwa, dalan iklim bisnis yang terbuka dan bebas, perusahaan yang
menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu perusahaan yang memperhatikan
hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan berhasil
dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
Dalam
persaingan bisnis yang ketat, bisnis yang hanya mengandalkan sikap reaktif akan
selalu ketinggalan, dan jauh lebih merugikan. Yang ideal adalah sikap proaktif,
yaitu berusaha sejauh mungkin untuk mencegah timbulnya hal-hal yang merugikan
kepentingan bisnis khkususnya dalam jangka panjang. Nah, etika justru memeberi
visi jangka panjang seperti itu.
Pertanyaannya
adalah kalau begitu m,engapa masih saja ada praktek-praktek bisnis yang secara
terang-terangan melanggar norma dan nilai-nilai moral yang siapa pun akan
mengutukknya.
Pertama,
adalah hal manusiawi bahwa tidak ada seorang pun yang bersih dan seratus persen
etis dan bermoral dalam seluruh tindakannya.
Kedua,
secara khusus untuk bisnis di Indonesia, praktek bisnis yang tidak etis, tidak
baik, dan tidak fair yang sering kita temukan dalam dunia bisnis kita
sesungguhnya terutama disebabkan oleh adanya peluang yang diberikan oleh sistem
ekonomi dan politik kita. Artinya, dalam situasi di mana poerusahaan yang
menang adalah perusahaan yang mencari jalan pintas dengan mencari monopoli, hak
istimewa, perlindungan istimewa, kolusi, dan seterusnya dari pemerintah, serta
memanfaatkan jalur-jalur nepotisme yang ada, maka akan sulit untuk bisa menegakkan
praktek bisnis yang etis dan baik. Hanya kalau pemerintah benar-benar bertindak
sebagai wasit yang netral berdasarkan aturan main yang fair, objektif, dan
rasional, kesadaran mengenai pentingnya bisnis yang baik dan etis akan terwujud
dalam praktek bisnis yang memang baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa
masih tetap ada juga pelanggaran di sana-sini yang memang manusiawi.
Ketiga,
ada kemungkinan lain bahwa praktek bisnis tertentu melanggar norma dan nilai
moral tertentu karena pelakunya berada dalam keadaan terpaksa. Artinya, dia
sadar betul bahwa apa yang dilakukannya jelas melanggar etika, tapi terpaksa
dilakukannya karena alasan-alasan tertentu yang masuk akal dan dapat diterima.
3.
Sasaran
dan Lingkup Etika Bisnis
Ada
tiga sasaran dan lingkup pokok etka bisnis di sini. Pertama, etika bisnis
sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang
teerkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika
bisnis pertama-tama bertujuan untuk mengimbau para pelaku bisnis untuk
menjalankan bisnisnya secara baik dan etis. Termasuk didalamnya imbauan itu
didasarkan juga pada hakekat dan tujuan bisnis, yaitu utuk meraih keuntungan.
Dalam hal ini para pelaku bisnis diimbau untuk berbisnis secara baik dan etis karena
bisnis yang baik dan etis menunjang keberhasilan bisnisnya dalam jangka
panjang.
Karena
lingkukp etika bisnis yang pertama ini lebih sering ditujukan kepada para
manajer dan pelaku bisnis, dan lebih sering berbicara mengenai bagaimana perilaku
bisnis yang baik dan etis itu, maka dalam lingkupnya yang pertama ini sering
kali etika bisnis disebut sebagai etika manajemen. Tidak hanya menyangkut
perilaku kelembagaan dalam suatu perusahaan, melainkan juga menyangkut perilaku
bisnis yang baik dan etis secara individual dalam interaksinya dengan pihak
lain.
Sasaran
kedua dari etika bisnis, yang jarang disinggung adalah untuk menyadarkan kepada
masyarakat khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas pemilik
aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak
boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga.
Sasaran
kedua ini sangat penting dan vital dalam kondisi bisnis modern sekarang ini.
Kenyataan menunjukkan bahwa bisnis dewasa ini mempengaruhi kehidupan hampir
semua anggota masyarakat tanpa terkecuali, entah sebagai pekerjam konsumen, atau
pemilik aset umum tertentu.
Pada
sasaran kedua ini, etika bisnis lalu bisa menjadi sangat subversif. Subversif
karena ia menggugah, mendorong, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk
tidak dibodoh-bodohi, dirugikan, dan diperlakukan secara tidak adil dan tidak
etis oleh praktek bisnis pihak mana pun.
Ketiga,
etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis
tidaknya praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro, yang
karena itu barangkali lebih tepat disebut sebagai etika ekonomi. Dengan kata
lain, dalam lingkup ini, etika bisnis menekankan pentingnya kerangka
legal-politis bagi praktek bisnis yang baik, yaitu pentingnya hukum dan aturan
bisnis serta peran pemerintah yang efektif menjamin keberlakuan aturan bisnis
tersebut secara konsekuen tanpa pandang bulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar