Selasa, 29 Januari 2013

BISNIS DAN ETIKA


Bisnis bisa berkembang menjadi sebuah profesi yang luhur atau etis. Ini berarti bisnis perlu dijalankan secara etis. Apakah ada eetika bisnis ?. Etika bisnis untuk pertama-tama memperlihatkan bahwa memang bisnis perlu etika, bukan hanya berdasarkan tuntutan etis belaka melainkan juga berdasarkan tuntutan kelangsungan bisnis itu sendiri.
1.      Mitos Bisnis Amoral
Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan disamakan dengan etika. Ianjlah ungkapan yang oleh De George disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan atau mitos ini menggambarkan dengan jelas anggapan atau keyakinan orang bisnis, sejauh mereka menerima mitos seperti itu, tentang dirinya, kegiatannya, dan lingkungan kerjanya. Yang mau digambarkan disini adalah bahwa kerja orang bisnis adalah berbisnis dan bukan beretik. Atau secara lebin tepat, mitos bisnis amoral mengungkapkan keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis tidak punya sangku paut dengan etika dan moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh dinilai dengan menggunakan norma dan nilai-nilai etika. Bisnis dan etika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan. Kalau itu dilakukan, telah terjadi sebuah kesalahan kategoris.
Kegiatan orang bisnis adalah melakukan bisnis sebaik mungkin untuk mendapat keuntungan, maka yang menjadi pusat perhatian orang bisnis adalah bagaimana memproduksi, mengedarkan, menjual dan membeli barang dengan memperoleh keuntungan. Singkatnya, sasaran dan tujuan, bahkan tujuan satu-satunya dari bisnis adalah mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.
Untuk memperlihatkan kebenaran mitos bisnis amoral tersebut, bisnis diibaratkan sebagai permainan judi.
Pertama, seperti halnya judi, atau permainan pada umumnya, bisnis adalah sebuah bentuk persaingan (yang mengutamakan kepentingan pribadi). Sebagai sebuah bentuk persaingan semua orang yang terlibat di dalamnya selalu berusaha dengan segala macam cara dan upaya untuk bisa menang. Dengan kata lain, bisnis, sebagaimana permainan penuh persaingan ketat lainnya, cenderung menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan. Yang utama bagi orang bisnis adalah bagaimana bisa menang dalam persaingan yang ketat, bagaimana bisa untung sebesar-besarnya. Karena itu segala peluang dan cara dipakai untuk bisa meraup keuntungan.
Kedua, aturan yang dipaki dalam permainan penuh persaingan itu berbeda dari aturan yang ada dan dikenal dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Ketiga, orang bisnis yang masih mau mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketet tersebut. Dengan kata lain, di tengah persaingan bisnis yang ketat, orang yang masih memperhatikan etika dan moralitas akan kalah, merugi, dan tersingkir dengan sendirinya.
Argumen-argumen di atas masih diperkuat oleh dua argumen lain sebagai berikut. Pertama, jika suatu permainan (judi) mempunyai aturan yang diterima dan dibenarkan secara legal – jadi ada aturan mainnya – dengan sendirinya praktek permainan tersebut pun diterima dan dibenarkan secara moral. Kedua, jika suatu praktek begitu umum diterima dan dijalankan di mana-mana sehingga menjadi semacam norma, semua orang lain tinggal menyesuaikan diri dengan praktek semacam itu.
Kesimpulannya; bisnis dan etika adalah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Bahkan sebagaimana diungkapkan salah satu argumen di atas, etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat. Maka, orang bisnis tidak perlu memeperhatikan imbauan-imbauan, norma-norma, dan nilai-nilai moral.
Ada beberapa argmen ayang dapat diajukan untuk memperllihatkan bahwa mitos bisnis amoral sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Bahkan orang bisnis yang tulen, yang bervisi masa depan dalam jangka panjang, akan sulit menerima kebenaran mitos tersebut.
Bisnis memang sering diibaeratkan dengan judi bahkan sudah dianggap sebagai semacam judi atau permainan penuh persaingan yang ketat. Tidak ada orang yang membantah itu. Namun bisnis tidak sepenuhnya seratus persen sama dengan judi atau permainan.
Tidak sepenuhnya benar bahwa sebagai sebuah permainan (judi), dunia bisnis mempunyai aturan main sendiri yang berbeda sama sekali dari aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya. Karena kegiatan bisnis adalah kegiatan manusia, bisnnis dapat dan memang pada tempatnya untuk dinilai dari sudut pandang moral, dari sudut pandang baik buruknya tindakan manusia bisnis sejauh sebagai manusia, persis sama seperti semua kegiatan manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral.
Harus dibedakan antara legalitas dan moraliltas. Suatu praktek atau kegiatan mungkin saja dibenarkan dan diterima secara legal karena ada dasar hukumnya. Praktek monopoli yang didukung kebijaksanaan pemerintah adalah contoh yang tepat disini.
Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris, suatu gejala atau fakta yang berulang terus dan terjadi di mana-mana menjadi alasan yang sah bagi kita untuk menarik sebuah teori atau hukum ilmiah yang sah dan universal.
Gerakan dan aksi protes seperti lingkungan hidup, konsumen, buruh, wanita, dan semacamnya dengan jelas menunjukkan nahwa masyarakat tetap mengharapkan agar bisnis dijalankan secara baik dan etis dengan memperhatikan masalah lingkungan hidup, hak konsumen, hak buruh, hak wanita, dan seterusnya.

2.      Keutungan dan Etika
Perlu digarisbawahi sejak sekarang bahwa tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntunga. Karena pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam kegiatan berbisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan kerena itu berarti tidak akan terjadi aktifitas ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional.
Ada beberapa argumen yang dapat diajukan di sini untuk menunjukkan bahwa justru demi memperoleh keuntungan etika sangat dibutuhkan. Pertama, dalam bisnis modern dewasa ini para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang professional dibidangnya.
Kedua, dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen adalah benar-benar raja. Karena itu, hal yang paling pokok untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar penuh persaingan adalah sejauh mana suatu perusahaann bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan konsumen.
Ketiga, dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat nettral tak berpihak tetapi efektif mejaga agar kepentingan dan hak semua pihak dijamin, para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan bisnisnya. Salah satu yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara sengaja merugikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Keempat, perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang siap untuk dieksploitasi demi mengeruk keuntungan sebesasr-besarnya. Dalam bisnis yang penuh persaingan ketat, karyawan adalah orang-orang profesional yang tidak mudah digantikan. Karena mengganti seorang tenaga profesional akan sangat merugikan baik dari segi finansial, waktu, energi, irama kerja perusahaan, team-work, momentum, dan seterusnya. Dalam persaingan yang ketat, mengganti profesional yang ada berarti kalah selangkah.
Kenyataan ini memaksa perusahaan-perusahaan modern untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan sebaik-baiknya serta berusaha menjaga agar mereka merasa betah bekerja pada perusahaan tersebut. Termasuk dalam usaha tersebut adalah memberikan gaji yang baik, penghargaan yang baik, sikap yang baik, suasana kerja yang baik, perlakuan yang adil dan fair kepada semua karyawan atas dasar-dasar yang rasional dan objektif, perlakuan yang manusiawi, jaminan terhadap hak-hak karyawan, dan sebagainya.
Tidak berlebihan kalau Kenneth Blanchard dan Norman Vincet Peale mengatakan bahwa perlakuan yang baik terhadap karyawan telah menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 20 persen atau telah menurunkan harga produk perusahaan yang bersangkukra sebesar 20 persen.
Dengan perlakuan yang baik, kerugian-kerugian yang disebabkan oleh sikap dan perilaku buruk di pihak karyawan dan dicegah dan dengan demikian dapat menaikkan keuntungan bagi perusahaan atau sebaliknya menurunkan harga jual produk karena kurangnya biaya yang tidak perlu untuk menutup kerugian-kerugian yang tidak perlu tadi.
Mitos bisnis amoral adalah mitos yang tidak benar. Anggapan bahwa bisnis adalah kegiatan yang amoral, yaitu kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas, adalah sama sekali tidak benar. Bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sanagat mengandalkan etika. Dengan kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk dibicarakan. Argumen mengenai kaitan antara tujuan bisnis mencari keuntungan dan etika memperlihatkan secara gamblang bahwa, dalan iklim bisnis yang terbuka dan bebas, perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu perusahaan yang memperhatikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan berhasil dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
Dalam persaingan bisnis yang ketat, bisnis yang hanya mengandalkan sikap reaktif akan selalu ketinggalan, dan jauh lebih merugikan. Yang ideal adalah sikap proaktif, yaitu berusaha sejauh mungkin untuk mencegah timbulnya hal-hal yang merugikan kepentingan bisnis khkususnya dalam jangka panjang. Nah, etika justru memeberi visi jangka panjang seperti itu.
Pertanyaannya adalah kalau begitu m,engapa masih saja ada praktek-praktek bisnis yang secara terang-terangan melanggar norma dan nilai-nilai moral yang siapa pun akan mengutukknya.
Pertama, adalah hal manusiawi bahwa tidak ada seorang pun yang bersih dan seratus persen etis dan bermoral dalam seluruh tindakannya.
Kedua, secara khusus untuk bisnis di Indonesia, praktek bisnis yang tidak etis, tidak baik, dan tidak fair yang sering kita temukan dalam dunia bisnis kita sesungguhnya terutama disebabkan oleh adanya peluang yang diberikan oleh sistem ekonomi dan politik kita. Artinya, dalam situasi di mana poerusahaan yang menang adalah perusahaan yang mencari jalan pintas dengan mencari monopoli, hak istimewa, perlindungan istimewa, kolusi, dan seterusnya dari pemerintah, serta memanfaatkan jalur-jalur nepotisme yang ada, maka akan sulit untuk bisa menegakkan praktek bisnis yang etis dan baik. Hanya kalau pemerintah benar-benar bertindak sebagai wasit yang netral berdasarkan aturan main yang fair, objektif, dan rasional, kesadaran mengenai pentingnya bisnis yang baik dan etis akan terwujud dalam praktek bisnis yang memang baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa masih tetap ada juga pelanggaran di sana-sini yang memang manusiawi.
Ketiga, ada kemungkinan lain bahwa praktek bisnis tertentu melanggar norma dan nilai moral tertentu karena pelakunya berada dalam keadaan terpaksa. Artinya, dia sadar betul bahwa apa yang dilakukannya jelas melanggar etika, tapi terpaksa dilakukannya karena alasan-alasan tertentu yang masuk akal dan dapat diterima.

3.      Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis
Ada tiga sasaran dan lingkup pokok etka bisnis di sini. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang teerkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika bisnis pertama-tama bertujuan untuk mengimbau para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnisnya secara baik dan etis. Termasuk didalamnya imbauan itu didasarkan juga pada hakekat dan tujuan bisnis, yaitu utuk meraih keuntungan. Dalam hal ini para pelaku bisnis diimbau untuk berbisnis secara baik dan etis karena bisnis yang baik dan etis menunjang keberhasilan bisnisnya dalam jangka panjang.
Karena lingkukp etika bisnis yang pertama ini lebih sering ditujukan kepada para manajer dan pelaku bisnis, dan lebih sering berbicara mengenai bagaimana perilaku bisnis yang baik dan etis itu, maka dalam lingkupnya yang pertama ini sering kali etika bisnis disebut sebagai etika manajemen. Tidak hanya menyangkut perilaku kelembagaan dalam suatu perusahaan, melainkan juga menyangkut perilaku bisnis yang baik dan etis secara individual dalam interaksinya dengan pihak lain.
Sasaran kedua dari etika bisnis, yang jarang disinggung adalah untuk menyadarkan kepada masyarakat khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga.
Sasaran kedua ini sangat penting dan vital dalam kondisi bisnis modern sekarang ini. Kenyataan menunjukkan bahwa bisnis dewasa ini mempengaruhi kehidupan hampir semua anggota masyarakat tanpa terkecuali, entah sebagai pekerjam konsumen, atau pemilik aset umum tertentu.
Pada sasaran kedua ini, etika bisnis lalu bisa menjadi sangat subversif. Subversif karena ia menggugah, mendorong, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tidak dibodoh-bodohi, dirugikan, dan diperlakukan secara tidak adil dan tidak etis oleh praktek bisnis pihak mana pun.
Ketiga, etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro, yang karena itu barangkali lebih tepat disebut sebagai etika ekonomi. Dengan kata lain, dalam lingkup ini, etika bisnis menekankan pentingnya kerangka legal-politis bagi praktek bisnis yang baik, yaitu pentingnya hukum dan aturan bisnis serta peran pemerintah yang efektif menjamin keberlakuan aturan bisnis tersebut secara konsekuen tanpa pandang bulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar