Pengertian Haidl
Haidl, atau
biasa disebut menstruasi, secara harfiah (lughot) mempunyai arti
mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar melalui alat
kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari
kurang sedikit (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit), dan keluar secara
alami (tabiat perempuan) bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit dalam
rahim.
Dengan
demikian darah yang keluar ketika wanita belum berumur 9 tahun kurang 16 hari
kurang sedikit, atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan, tidak
dinamakan darah haidl. [1]
Hukum Belajar Ilmu Haidl
Mengingat
permasalahan haidl selalu bersentuhan dengan rutinitas ibadah setiap hari, maka
seorang wanita dituntut untuk mengetahui hukum-hukum permasalahan yang
dialaminya, agar ibadah yang ia lakukan sah dan benar menurut syara’. Untuk
mengetahui hukum permasalahan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali belajar.
Sedangkan ketentuan hukum mempelajarinya adalah sebagai berikut: [2]
a.
Fardlu ‘Ain bagi wanita yang sudah
baligh
b.
Fardlu kifayah bagi laki-laki
Catatan:
Bagi orang
tua wajib memerintahkan anaknya, baik laki-laki atau perempuan, untuk
melaksanakan sholat ketika sudah berumur 7 tahun, dan memukulnya sekira menjerakan,
tatkala meninggalkan sholat ketika sudah genap umur 10 tahun. Di samping itu,
juga wajib melarangnya dari segala perbuatan yang diharamkan dan memberi
pelajaran tentang hal-hal yang diwajibkan baginya ketika sudah baligh, termasuk
di dalamnya permasalahan haidl, nifas dan istihadloh. Ketika anak sudah baligh
maka tanggung jawab orang tua sudah dianggap gugur dan beralih menjadi tanggung
jawab anak itu sendiri. [3]
Tanda-Tanda Baligh
Seorang anak
bisa dihukumi baligh apabila sudah memenuhi salah satu dari 4 (empat)
tanda baligh di bawah ini: [4]
- Genap berumur 15 th Qomariyah atau Hijriyah bagi
laki-laki maupun perempuan.
- Keluar sperma pada saat minimal usia 9 th. Hijriyah
bagi laki-laki atau perempuan
- Haidl
- Hamil (melahirkan)
Catatan:
Yang dijadikan pijakan
dalam penentuan umur baligh, usia minimal haidl dll adalah penanggalan hijriyah
bukan Masehi. Maka dari itu sudah seharusnya bagi orang tua untuk membiasakan
diri menggunakan penanggalan Hijriyah dalam menulis hari kelahiran bayi, bukan
dengan penanggalan Masehi.
Batas Usia Wanita yang
Mengalami Haidl
Batas usia
minimal wanita mengalami haidl adalah 9 tahun Qomariah kurang 16 hari kurang
sedikit (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit). Sehingga darah yang
keluar sebelum usia tersebut tidak dinamakan darah haidl, akan tetapi dinamakan
darah istihadhoh. Bila darah yang keluar, sebagian pada usia haidl dan yang
sebagian sebelum usia haidl, maka darah yang dihukumi haidl hanyalah darah yang
keluar pada usia haidl saja. Semisal ada wanita, usianya 9 tahun kurang 20
hari, mengeluarkan darah selama 10 hari, maka darah yang 4 hari awal lebih
sedikit disebut darah istihadloh, sedangkan yang 6 hari akhir kurang sedikit
disebut haidl. Sebab darah yang 6 hari kurang sedikit ini, keluar saat wanita
tersebut sudah menginjak usia 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit, yakni usia
minimal wanita mengeluarkan haidl. [5]
Contoh tabel wanita yang
mengeluarkan darah disaat usia menginjak remaja:
N0
|
Usia Saat Keluar darah
|
Lama keluar darah
|
Hukum perincian darah
|
1
|
8
th. 11 bln. 14 hari lebih sedikit
|
12
hari
|
Semua
haidl
|
2
|
8
th. 11 bln. 10 hari
|
10
hari
|
4
hari lebih sedikit istihadhoh, 6 hari kurang sedikit haidl
|
3
|
8
th. 11 bln. 5 hari
|
15
hari
|
9
hari lebih sedikit istihadhoh, 6 hari kurang sedikit haidl
|
4
|
8
th.
|
5
hari
|
Semua
istihadhoh
|
5
|
9
th.
|
10
hari
|
Semua
haidl
|
Umumnya
wanita mengalami haidl pada umur 12-14 th. Dan dalam permasalahan usia haidl
tidak ada batas maksimalnya. Sedangkan wanita yang sudah tidak mengalami haidl
(menopause) umumnya berumur 62 th. 1
Ketentuan
Darah Haidl
Batas minimal haidl adalah
sehari semalam (24 jam), dan paling lamanya haidl adalah 15 hari 15 malam.
Sedangkan batas minimal masa suci pemisah antara haidl satu dengan berikutnya
adalah 15 hari 15 malam. Kebiasaan masa suci selalu seirama dengan masa haidl
yang di alami. Jika seorang wanita menjalani masa haidl hanya sehari semalam,
maka kebiasaan masa sucinya 29 hari. Jika masa haidlnya 6 atau 7 hari, maka
kebiasaan masa sucinya selama 34 atau 23 hari dan seterusnya. [6]
Dari ungkapan
“kebiasaan“ diatas bisa diambil pengertian bahwa tidak menutup kemungkinan ada
seorang wanita menjalani masa haidl selama 1 hari dan masa suci selama 15 hari.
Jika setelah itu dia mengeluarkan darah lagi, maka darah tersebut juga di
hukumi haidl dengan memandang tolak ukur masa minimal haidl dan minimal masa
suci pemisah.
Setiap darah
yang keluar pada usia haidl, selama minimal 24 jam dan tidak melebihi 15 hari
15 malam, secara mutlaq dihukumi darah haidl, baik baru pertama kali haidl
atupun sudah pernah haidl dan suci, baik sama dengan kebiasaan haidl sebelumnya
atau tidak, darah berupa satu warna atau bermacam-macam warna, keluarnya terus
menerus ataupun terputus-putus asalkan masih dalam lingkup 15 hari 15 malam
dari permulaan keluarnya darah.
Contoh: Seorang wanita
mengeluarkan darah 5 hari hitam, 3 hari merah dan 3 hari kuning, maka seluruh
darah dihukumi haidl, sebab keluarnya darah sudah mencapai 24 jam lebih dan
tidak melebihi 15 hari 15 malam.
Apabila darah
keluar secara terputus-putus dan jarak pemisahnya tidak melebihi 15 hari 15
malam, maka ketentuan hukumnya diperinci sebagai berikut: [7]
a.
Jika semua darah yang keluar masih
dalam lingkup 15 hari 15 malam dari permulaan keluar darah, maka semuanya
dihukumi haidl, termasuk masa terputusnya darah. [8]
Contoh: 5 hari keluar darah, 3
hari berhenti dan 4 hari keluar darah, maka semuanya dihukumi haidl termasuk
masa tidak keluar darah.
b.
Jika darah kedua diluar 15 hari 15
malam dari permulaan keluarnya darah dan masa pemisah dijumlah dengan darah
pertama tidak melebihi 15 hari 15 malam, maka darah pertama dihukumi haidl dan
darah kedua dihukumi darah fasad.
Contoh: 3 hari keluar darah, 12
hari berhenti dan 3 hari keluar darah, maka 3 hari awal disebut darah haidl, 12
hari disebut masa pemisah dan tiga hari akhir disebut darah fasad.
Apabila masa
pemisah dijumlah dengan darah kedua melebihi 15 hari 15 malam, maka darah
pertama dihukumi darah haidl dan darah kedua yang digunakan menyempurnakan masa
suci pemisah 15 hari 15 malam, dihukumi darah fasad. Sedangkan sisa darah kedua
yang dipergunakan untuk menyempurnakan masa suci pemisah (15 hari 15 malam),
dihukumi darah haidl yang kedua apabila sisa darah kedua tersebut tidak
melebihi 15 hari 15 malam.
Contoh: 3 hari keluar darah, 13
hari berhenti dan 8 hari keluar darah, maka 3 hari awal dihukumi darah haidl,
13 hari disebut masa pemisah, 2 hari dari darah kedua dihukumi darah fasad
(untuk menyempurnakan masa suci pemisah 15 hari 15 malam). Sedangkan sisanya (6
hari) dihukumi haidl yang kedua.
Jika sisa darah
kedua tersebut melebihi 15 hari 15 malam, maka darah pertama dihukumi haidl dan
darah kedua yang digunakan menyempurnakan masa suci pemisah 15 hari 15 malam,
dihukumi darah fasad. Sedangkan sisa darah kedua tersebut dihukumi istihadhoh
dan perincian hukumnya disesuaikan dengan pembangian mustahadhoh.
Contoh: Keluar darah pertama 10
hari, berhenti selama 10 hari, keluar darah yang kedua 25 hari. Maka, 10
hari yang pertama dihukumi haidl, 10 hari saat tidak keluar darah ditambah 5
hari saat keluar darah yang kedua (sebagai penyempurna 15 hari minimal suci
yang memisahkan antara dua haidl), dihukumi masa suci. Sedangkan satu hari
setelah itu dihukumi haidl yang kedua, dan sisanya dihukumi darah istihadloh,
bila Mubtadiah ghoiru mumayyizah, dan disesuaikan kebiasaanyanya bila mu’tadah
ghoiru mumayyizah.
c.
Apabila darah kedua yang keluar
sebagian masih dalam lingkup 15 hari 15 malam dari permulaan keluarnya darah
pertama dan yang sebagian diluar 15 hari 15 malam dari permulaan keluarnya
darah pertama (sebagian darah kedua
menerjang hari ke-15 dari permulaan keluarnya darah pertama), maka hal ini
termasuk istihadhoh. Sedangkan perincian hukumnya disesuaikan dengan pembagian
mustahdhoh.[9]
Contoh: 5 hari keluar darah petama,
7 hari berhenti, 8 hari keluar darah kedua, maka contoh semacam ini termasuk
mustahdhoh dan perincian hukumnya disesuaikan dengan pembagian mustahdhoh.
Hal-Hal yang Harus
Dilakukan Saat Datang dan Berhentinya Haidl.
Apabila wanita yang telah memasuki usia haidl mengeluarkan darah, maka
wanita tersebut harus berhenti melakukan aktifitas yang dilarang bagi wanita
yang sedang mengalami masa haidl, baik wanita tersebut sudah pernah
mengeluarkan darah haidl atau belum, baik darah yang keluar telah mencapai 24
jam atau belum. Jika darahnya terhenti, maka wanita tersebut diwajibkan
melakukan aktifitas yang diwajibkan bagi orang suci (baik terhentinya setelah
darah yang keluar mencapai 24 jam atau belum). Namun jika darah tersebut
terhenti sebelum keluarnya mencapai 24 jam (batas minimal haid), maka untuk
bersuci dia cukup untuk berwudlu saja. Berbeda jika masa keluar darahnya
mencapai 24 jam, maka untuk bersuci wanita tersebut wajib mandi. Jika belum
genap 15 hari (dihitung dari awal mengeluarkan darah dan terputusnya)
mengeluarkan darah lagi, maka wanita tersebut harus berhenti melakukan
aktifitas yang dilarang bagi orang yang haidl. Dengan kata lain setiap wanita
yang mengeluarkan darah harus berhenti melakukan segala aktifitas yang dilarang
bagi orang yang sedang haidl walupun darah tersebut belum tentu dihukumi haidl.
Demikian pula ketika berhenti mengeluarkan darah, wanita tersebut harus
melakukan aktifitas yang diwajibkan bagi orang yang suci walaupun dimungkinkan
setelah berhenti sebelum mencapai 15 hari masih mengeluarkan darah lagi. Jika
memang masa berhentinya kurang dari 15 hari lalu mengeluarkan darah lagi, maka
menurut pendapat yang bisa dijadikan pegangan, aktifitas yang dilakukan seperti
sholat, puasa dan lain-lain pada saat darah terhenti dihukumi tidak sah.
Sedangkan menurut sebagian pendapat, tetap dihukumi sah, karena pada
kenyataannya tidak mengeluarkan darah sehingga wanita tersebut dianggap dalam
masa suci. Jika darahnya keluar tanpa henti sampai lebih dari 15 hari, maka
wanita tersebut dihukumi sedang istihadloh. [10]
Catatan:
Darah dihukumi berhenti
bila seandainya diusap dengan cara mamasukkan semisal kapuk, sudah tidak ada
cairan yang sesuai dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan
bening)[11]. Namun
bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan
diantara ulama. Ada
yang mengatakan masih dihukumi darah haidl (qoul yang kuat), karena
menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal bahwa cairan itu keluar pada masa imkan
haidl. Ada
yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna
darah.[12]
Istihadloh
Sebelum lebih
lanjut kita membicarakan masalah ini, maka yang perlu diperhatikan terlebih
dahulu adalah mengetahui sedetail mungkin tentang sifat kuat dan lemahnya
darah.
Kuat atau
lemahnya darah bisa dipengaruhi oleh: [13]
1. Warna,
yang urutan kuatnya dimulai dari hitam, merah, merah kekuning-kuningan, kuning
dan yang terakhir keruh.
2. Darah
yang kental lebih kuat dibanding dengan yang cair.
3. Darah
yang bau lebih kuat dibanding dengan yang tidak berbau.
Jika sebagian
darah mempunyai ciri-ciri yang menyebabkan darah tersebut kuat, sementara
sebagian yang lain mempunyai ciri-ciri yang menyebabkan kuat pula, maka yang
dianggap kuat adalah darah yang lebih banyak memiliki faktor yang dianggap
lebih kuat.
Contoh :
-
Darah hitam, kental dan berbau
dianggap lebih kuat dibanding dengan darah hitam, kental dan tidak berbau dan
juga lebih kuat dibanding dengan darah hitam, cair dan berbau dengan
perbandingan 3 dan 2.
-
Darah merah, kental dan berbau lebih
kuat dibanding dengan darah hitam, cair dan tidak berbau dengan perbandingan 2
dan 1.
Apabila kedua
darah tersebut mempunyai ciri yang seimbang maka, yang dihukumi darah kuat
adalah darah yang pertama kali keluar.
Contoh :
Darah pertama keluar; merah, kental
dan berbau disusul dengan darah hitam, kental dan tidak berbau atau hitam, cair
dan berbau. Maka, yang dihukumi darah kuat adalah darah yang pertama.
Definisi istihadloh
menurut para ahli fiqh adalah darah yang keluar dari alat kelamin seorang
wanita yang tidak sesuai ketentuan darah haidl dan nifas. Abi Ishaq Al-Syairozi
dalam kitab Al-Muhadzab menegasakan, apabila darah yang keluar
dari alat kelamin seorang wanita melebihi batas 15 hari, maka haidl wanita
tersebut telah bercampur dengan istihadloh dan identitas yang disandang
wanita seperti ini tidak lepas dari :
1. Mubtadiah
Mumayyizah
Yaitu wanita
yang baru pertama kali mengalami haidl dan darah yang keluar melebihi batas
maksimal haidl (15 hari 15 malam), serta darah yang keluar dapat dibedakan
antara yang kuat dan lemah. Bagi wanita yang demikian ini, darah yang dihukumi
haidl adalah yang kuat meskipun darah tersebut keluarnya lebih akhir, dengan
syarat :
1.
Darah kuat tidak kurang dari sehari
semalam (24 jam).
2.
Darah kuat tidak melebihi 15 hari 15
malam.
3.
Darah lemah tidak kurang dari 15 hari
15 malam dan keluar secara terus-menerus. [14]
Syarat yang
ketiga ini diberlakukan jika ada darah kuat yang sama dengan darah pertama
keluar lagi dan darah keluar minimal 30 hari, sebab syarat ini hanya untuk
menentukan darah kuat yang kedua dihukumi darah haidl (bukan untuk menentukan haidl terhadap darah
kuat pertama) dan masa keluar darah lemah dihukumi sebagai pemisah diantara dua
haidl.
Sedangkan jika tidak ada darah kuat kedua maka syarat ketiga ini tidak
diberlakukan (wanita seperti ini masih dihukumi mumaiyyizah dengan hanya
membutuhkan syarat ke-1 dan 2). [15]
Contoh: 1
Seorang wanita
yang belum pernah haidl mengeluarkan darah sbb:
Darah
kuat : 5 hari
Darah
lemah : 25 hari
Maka 5 hari
dihukumi darah haidl, dan 25 hari istihadloh.
Contoh: 2
Darah
kuat : 3 hari
Darah
lemah : 16 hari
Darah kuat : 7 hari
Maka
darah kuat pertama (3 hari) dan darah kuat kedua (7 hari) dihukumi haidl dan 16
hari darah lemah dihukumi istihadhoh.
Contoh:
3
Darah
kuat : 10 hari
Darah lemah : 10 hari
Maka
10 hari darah kuat dihukumi haidl, 10 hari darah lemah dihukumi istihadhoh.
Selanjutnya
bila 3 syarat di atas tidak terpenuhi, maka ia termasuk dalam katagori Mubtadi’ah
Ghoiru Mumayyizah yang akan
dijelaskan nanti.
Langkah yang
harus dilakukan oleh Mubtadiah Mumayyizah pada bulan pertama adalah
tidak mandi (besar) terlebih dahulu sampai 15 hari dan setelah itu dia
berkewajiban mengqodlo’ sholat yang ditinggalkan saat mengeluarkan darah lemah.
Untuk bulan kedua dan seterusnya dia tidak perlu lagi menunggu sampai 15 hari,
namun wajib mandi di saat ia telah melihat perpindahan darah dari kuat ke darah
lemah[16]
2. Mubtadiah Ghoiru
Mumayyizah
Yaitu wanita
yang baru pertama kali mengalami haidl. Dan darah yang keluar melebihi batas
maksimal haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna, atau lebih dari satu warna
namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah.
Haidl wanita seperti ini hanyalah sehari semalam dan masa sucinya selama 29
hari untuk tiap bulannya kalau memang dia ingat betul kapan ia mulai mengeluarkan
darah. Apabila tidak ingat, maka dia tergolong Mustahadloh Mutahayyiroh. [17]
Contoh :
a.
Seorang wanita mengeluarkan darah yang
sifatnya sama satu bulan penuh, maka yang dihukumi haidl 1 hari 1 malam.
b.
Seorang wanita mengeluarkan darah kuat
selama 16 hari, kemudian darah lemah, maka yang dihukumi haidl adalah 1 hari 1
malam.
c.
Seorang wanita mengeluarkan darah kuat
selama 1 hari kemudian darah lemah selama 1 hari demikian terus bergantian
selama satu bulan, maka yang dihukumi haidl hanya 1 hari 1 malam dan darah
selanjutnya dihukumi istihadhoh, karena darah lemah tidak keluar selama 15 hari
15 malam secara terus menerus.
Langkah yang
harus dilakukan oleh Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah pada
bulan pertama sama dengan apa yang dilakukan oleh Mubtadiah Mumayyizah,
hanya saja dia wajib mengqodlo’ sholat selama 14 hari yang wajib
ditinggalkannya untuk bulan pertama, setelah itu pada bulan kedua dan
seterusnya dia wajib mandi setelah darah yang keluar mencapai 1 hari 1 malam
dan wajib menjalankan segala aktifitas ibadahnya. [18]
3. Mu’tadah
Mumayyizah
Yaitu wanita
yang sudah pernah haidl dan suci, dan mengeluarkan darah melebihi batas
maksimal haidl (15 hari 15 malam). Serta darah yang keluar dapat dibedakan
antara yang kuat dan lemah dan memenuhi syarat-syarat mubtadi’ah Mumayyizah .
Mengenai hukumnya adalah sebagaimana Mubtadi’ah mumayyizah. Yaitu
darah kuat dihukumi haidl dan darah lemah dihukumi istihadloh, Kecuali jika diantara
keluarnya darah yang kuat dan lemah dipisah oleh Aqolluttuhri (masa minimal suci/15 hari), maka darah lemah
yang jumlahnya sama dengan kebiasaan haidlnya, serta darah kuat yang keluar
setelahnya dihukumi haidl. Dan darah lemah ditengahnya dihukumi istihadloh. [19]
Contoh: 1
Seorang wanita kebiasaan
haidlnya 5 hari kemudian mengeluarkan darah selama 27 hari, dengan perincian:
Darah
kuat : 12 hari
Darah
lemah : 15 hari
Maka haidlnya
adalah 12 hari, dan 15 hari dihukumi istihadloh.
Contoh: 2
Seorang
wanita yang kebiasaan haidlnya 3 hari, mengeluarkan darah selama 21 hari,
dengan perincian:
Darah
lemah : 19 hari
Darah
kuat : 2 hari
Maka
haidlnya adalah 3 hari pertama, sesuai adatnya, dan 2 hari terakhir. Karena
darah 2 hari itu, keluar setelah darah lemah melewati masa aqollu thuhri
(15 hari 15 malam). sedangkan darah 16 hari ditengah tengah, dihukumi
istihadloh.
Langkah
yang harus dilakukan oleh Mu’tadah Mumayyizah pada bulan pertama dan
bulan bulan selanjutnya sama dengan Mubtadi’ah Mumayyizah.
4.
Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li` Adatiha Qodron Wa
waktan.
Yaitu wanita
yang sudah pernah mengalami haidl, dan darah yang keluar melebihi batas
maksimal haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna, atau lebih dari satu warna
namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah,
serta dia masih ingat betul mulai dan sampai kapan kebiasaan haidl yang ia
jalani. Untuk Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li` Adatiha Qodron Wa
Waktan yang dijadikan pedoman dalam menentukan haidl dan sucinya adalah
kebiasaan haidl dan suci yang telah dialaminya, jika kebiasaan haidlnya tidak berubah-rubah. [20]
Contoh:
Kebiasaan haidl seorang
wanita 5 hari diawal bulan dan masa sucinya selama 25 hari. Kemudian dia
mengeluarkan darah Istihadloh yang tidak bisa dipilah antara yang kuat
dan yang lemah, atau bisa dipilah akan tetapi darah tersebut tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah, maka
untuk wanita seperti ini yang dihukumi haidl adalah darah yang keluar 5 hari
pertama.
Apabila adat
haidlnya berubah-ubah maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a. Jika perubahan adat haidlnya berjalan runtut
secara teratur selama minimal dua kali putaran dan dia ingat betul lamanya masa
perputaran adat haidlnya, maka haidlnya disesuaikan dengan masa putaran yang
terjadi pada saat itu. [21]
Contoh:
Pada
bulan pertama seorang wanita mengeluarkan darah haidl 3 hari, bulan kedua 5
hari, bulan ketiga 7 hari, bulan keempat 3 hari, bulan kelima 5 hari, bulan
keenam 7 hari, kemudian pada bulan yang ketujuh dan seterusnya dia mengalami Istihadloh,
maka haidl pada bulan ketujuh selama 3 hari, bulan kedelapan 5 hari dan bulan
kesembilan 7 hari.
b. Jika adat haidlnya sampai dua putaran namun
tidak teratur atau teratur namun tidak sampai dua putaran dan dia masih ingat
lamanya masa haidl terakhir yang dia alami sebelum Istihadloh, maka haidlnya disesuaikan
dengan masa haidl terakhir tersebut. [22]
Contoh:1
Pada bulan
pertama seorang wanita mengeluarkan darah haidl selama 3 hari, bulan kedua 5
hari, bulan ketiga 7 hari dan pada bulan keempat 7 hari. Kemudian pada bulan
kelima haidlnya 3 hari, bulan keenam 5 hari dan pada bulan ketujuh dia
mengalami Istihadloh, maka haidlnya untuk bulan ketujuh dan bulan-bulan
seterusnya, (selama masih mengalami Istihadloh) adalah 5 hari.
Contoh: 2
Bulan
pertama seorang wanita mengeluarkan darah haidl selama 3 hari, bulan kedua 5
hari, bulan ketiga 7 hari dan pada bulan keempat dia mengalamii Istihadloh,
maka haidlnya untuk bulan keempat ini dan selanjutnya ( selama masih mengalami Istihadloh
), adalah 7 hari.
c. Jika adat haidlnya runtut secara teratur
dalam satu putaran atau dua putaran, namun lupa adat putaran haidl dan masa
haidl yang terakhir sebelum istihadloh, namun ia masih ingat jumlah
bilangan haidl sebelumnya maka dia harus melakukan sebagaimana contoh dibawah
ini:
Seorang
wanita pada bulan pertama mengeluarkan darah haidl selama 7 hari, bulan kedua 5
hari, bulan ketiga 3 hari, bulan keempat 7 hari dan bulan kelima 5 hari.
Kemudian dia mengalami Istihadloh dan tidak ingat betul berapa
lamanya masa haidl yang dialaminya pada bulan pertama dan seterusnya namun dia
ingat jumlah haidlnya. Maka dia harus mandi (besar) dalam satu bulan tiga kali
yaitu, diakhir hari ketiga, diakhir hari kelima dan diakhir hari ketujuh. Dalam
masa yang memisahkan antara mandi pertama dan kedua, dan ketiga dia dihukumi Mutahayyiroh
yang berarti dia harus berhati-hati dengan tetap melakukan sholat dan lainya
seperti ketika dalam keadaan suci dan dia tidak boleh melakukan senggama serta
membaca al-qur-an (selain bacaan untuk sholat) seperti layaknya sedang haidl. 1
e. Jika adat haidlnya tidak runtut secara teratur,
atau teratur (dalam satu putaran atau dua putaran) namun dia lupa berapa lama
masa haidl terakhir yang dialaminya sebelum Istihadloh dan jumlah bilangan
haidl sebelumnya. Semisal, pada bulan pertama dia mengeluarkan darah haidl
selama 3 hari, bulan kedua 5 hari, bulan ketiga 7 hari dan bulan keempat 7
hari. Kemudian pada bulan kelima 3 hari (sebagaimana semula), bulan keenam 5
hari, dan bulan ketujuh dia mengalami Istihadloh serta dia tidak tahu
persis berapa jumlah bilangan haidl sebelumnya dan berapa lama masa haidl
terakhir sebelum Istihadloh, maka dihukumi Mutahayyiroh.
5. Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah
Li`Adatiha Qodron Wa Waqtan.
Yaitu wanita
yang sudah pernah haidl, darah yang keluar melebihi batas maksimal haidl (15
hari 15 malam), dalam satu warna atau lebih dari satu warna, namun darah yang
keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah
serta ia lupa mulai dan sampai kapan masa haidl yang pernah dialaminya.
Mustahadloh ini juga dikenal dengan mutahayyiroh/ muhayyaroh / muhayyiroh.
Maksudnya ia dalam keadaan kebingungan. Sebab hari-hari yang ia lalui mungkin
haidl dan mungkin suci. Sehingga ia dihukumi sebagaimana orang haidl dalam
masalah-masalah sebagai berikut: [23]
Haram
baginya untuk:
1.
Bersentuhan kulit dengan suaminya pada
anggota yang berada di antara pusar dan lutut.
2.
Membaca Al-Qur’an diluar sholat.
3.
Menyentuh Al-Qur’an.
4.
Membawa Al-Qur’an.
5.
Berdiam di dalam masjid selain untuk
ibadah yang tidak dapat dikerjakan di luar masjid.
6.
Lewat masjid jika khawatir darahnya
akan menetes di masjid.
Dan dia
dihukumi sebagaimana orang yang suci, dalam masalah:
1.
Sholat, baik fardlu atau sunah.
2.
Thowaf, baik fardlu atau sunah
3.
Berpuasa, baik fardlu atau sunah.
4.
I’tikaf.
5.
Tholaq (dicerai).
6.
Mandi.
Selanjutnya
apabila dia tidak ingat sama sekali kapan mulai berhentinya waktu haidl yang
pernah dialaminya, maka disaat hendak melakukan sholat dia harus mandi terlebih
dahulu. Jika dia masih ingat semisal, waktu berhentinya haidl yang pernah
dialaminya tepat disaat matahari terbenam, maka dia hanya berkewajiban mandi
pada waktu matahari terbenam saja.
Adapun
cara melaksanakan puasa Romadhon adalah disamping berkewajiban melakukan puasa
satu bulan penuh dibulan romadlon (29/30 hari), dia juga berkewajiban lagi melaksanakan
puasa selama satu bulan penuh (30 hari), Dengan cara
puasa tersebut, dapat diantisipasi segala kemungkinan yang terjadi padanya yaitu:[24]
Mungkin saja dia sebenarnya haidl 15 hari 15 malam (batas maksimal
haidl), sehingga semisal Romadlon 29 hari, puasa yang sah adalah 13 hari, sebab
seumpama haidlnya mulai tanggal 1 siang, haidl terebut akan berakhir pada
tanggal 16 siang. Dan seumpama haidlnya mulai tanggal 2, maka akan berakhir
tanggal 17, dan seterusnya. Sehingga puasa yang sah tetap 13 hari. Jadi sama
halnya, 29 dikurangi 16 hari = 13 hari, puasa yang 13 hari ini, sah secara
yaqin. Bila Romadlon berumur 30 hari maka sama halnya: 30 dikurangi 16 hari =
14 hari, puasa yang 14 hari ini, sah secara yaqin.
Dari
tata cara puasa tersebut, ia masih mempunyai hutang puasa 2 hari, baik usia
romadlon 29 ataupun 30 hari. Dengan kalkulasi sebagai berikut:
Jika
usia Romadlon 29 hari, maka 13 (29-16) + 14 (30-16) = 27.
Jika
usia Romadlon 30 hari, maka 14 (30-16) + 14 (30-16) = 28.
Sedangkan
cara mengqodloi puasa dua hari tersebut adalah dengan melakukan puasa 3 hari
berturut-turut kemudian berhenti (tidak puasa) selama 12 hari berturut-turut.
Setelah itu puasa lagi 3 hari berturut-turut. [25]
Seandainya
wanita semacam ini mempunyai hutang puasa satu hari, maka cara mengqodho’inya
adalah dengan puasa 1 hari, berhenti (tidak puasa) 1 hari, kemudian berhenti lagi 13 hari, dan
puasa lagi 1 hari (tepatnya pada hari ke-17 dari puasa pertama).
6.
Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li`Adatiha Qodron La Waqtan.
Yaitu wanita
yang sudah pernah mengalami haidl, darah yang keluar melebihi batas maksimal
haidl (15 hari 15 malam), dalam satu warna atau lebih dari satu warna, namun
darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah
serta dia hanya ingat kebiasaan lamanya masa haidl yang dialaminya akan tetapi
dia lupa kapan mulainya.
Langkah yang
harus dilakukan oleh Mustahadloh semacam ini adalah pada waktu yang
diyakini haidl, dia harus menjahui hal-hal yang menjadi larangan untuk wanita
yang sedang haidl, dan pada waktu yang diyakini suci dia boleh melakukan
hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadan suci. Sedangkan pada
waktu yang masih dimungkinkan suci atau haidl dia dihukumi seperti wanita Mutahayyiroh.
1
Contoh :
Dia ingat bahwa haidl
dialaminya selama 5 hari dalam 10 hari pertama. Hanya saja dia sama sekali
tidak ingat mulai tanggal berapa dia mengalami haidl. Yang masih diingat adalah
pada tanggal satu dia masih dalam keadaan suci. Maka tanggal satu tersebut
dihukumi yakin suci, kemudian pada tanggal dua sampai lima adalah masa yang dimungkinkan suci dan
haidl, selanjutnya pada tanggal enam diyakini haidl. Untuk tanggal tujuh sampai
sepuluh adalah masa yang mungkin haidl dan suci dan pada tanggal sebelas sampai
akhir bulan dihukumi yakin suci.
7.
Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li Adatiha Waqtan La Qodron.
Yaitu wanita
yang sudah pernah mengalami haidl darah yang keluar melebihi batas maksimal
haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna atau lebih dari satu warna, namun
darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah
serta dia hanya ingat waktu mulai kapan dia mengalami haidl dan tidak ingat
sampai kapan kebiasaan haidl yang dialaminya berhenti.
Langkah yang
harus dilakukan oleh Mustahadloh semacam ini sama dengan Mu`tadah
Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Qodron La Waqtan
Contoh:
Dia ingat bila pada tanggal
1 mulai mengalami haidl, akan tetapi dia tidak ingat sampai kapan haidl
tersebut berhenti. Maka yang dihukumi yakin haidl adalah pada tanggal 1 tersebut
dan tanggal 2 sampai 15 adalah masa mungkin untuk haidl dan suci. Pada tanggal
1 yang berupa masa yang diyakini haidl, dia harus menjauhi hal-hal yang menjadi
larangan bagi wanita haidl. Sedangkan dimasa yang mungkin terjadi haid dan suci
(tanggal 2 sampai 15) dia dihukumi sebagaimana wanita Mutahayyiroh yang
berarti dia harus berhati-hati sebagaimana diatas. Adapun untuk tanggal 16
sampai akhir bulan dia dihukumi yakin suci.
Nifas
Darah nifas
adalah darah yang keluar setelah melahirkan walaupun sedikit dengan syarat
antara melahirkan dan mengeluarkan darah tersebut tidak dipisah oleh masa 15
hari 15 malam. Oleh karena itu, jika ada wanita sehabis melahirkan,
mengeluarkan darah setelah 15 hari 15 malam dari kelahiran, maka wanita
tersebut dihukumi tidak mengalami nifas sama sekali. Adapun darah tersebut bisa
dikategorikan darah haid bila memenuhi ketentuan-ketentuan haidl.[26]
Minimalnya
masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap, pada umumnya 40 hari 40 malam dan
maksimalnya 60 hari 60 malam. Penghitungan maksimal masa nifas (60 hari 60 malam),
dihitung mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim
(sempurnanya melahirkan). Sedangkan hukum-hkum yang berkaitan dengan nifas
beraku mulai dari keluarnya darah, dengan syarat darah tersebut keluar sebelum
15 hari dari kelahiran bayi.
Darah yang
keluar dari alat kelamin seorang wanita setelah melahirkan selama masih dalam
lingkup 60 hari, disebut darah nifas baik terus manerus atau terputus-putus
dengan catatan, bila terputusnya tidak sampai 15 hari 15 malam. Jika
terputusnya mencapai 15 hari 15 malam, baik antara melahirkan dengan keluarnya
darah atau antara keluarnya darah yang pertama dengan darah yang kedua dan
seterusnya, maka darah yang keluar setelah terputus 15 hari 15 malam tidak
disebut darah nifas, akan tetapi disebut darah haidl kalau memang memenuhi
ketentuan-ketentuan darah haidl.
Contoh:
Ä Ada seorang wanita yang setelah melahirkan mengeluarkan
darah selama 5 hari, kemudian terputus selama 10 hari, setelah itu mengeluarkan
darah lagi selama 5 hari dan terputus lagi selama 10 hari. Demikian seterusnya
sampai 60 hari. Maka semua darah yang keluar disebut dengan nifas.
Ä Ada
seorang wanita yang setelah melahirkan mengeluarkan darah selama 5 hari dan
terputus selama 15 hari. Kemudian mengeluarkan darah lagi selama 10 hari. Maka
darah yang keluar selama 5 hari pertama
disebut nifas, sedangkan yang keluar selama 10 hari kedua disebut darah
haidl.
Adapun masa terputus yang
mencapai 15 hari disebut masa suci yang memisahkan antara nifas dan haidl,
sedangkan masa terputus yang belum mencapai 15 hari dihukumi nifas menurut
pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Sehingga jika wanita tersebut
melaksanakan puasa atau sholat pada saat terputusnya darah tersebut, maka
dianggap tidak sah dan wajib mengqodlo` puasa yang telah ia laksanakan pada
saat itu. Sedang untuk sholatnya tidak wajib diqodlo`.
Keputihan dan
Cairan yang keluar dari Vagina
Keputihan
adalah getah atau cairan yang keluar dari vagina, yang ditimbulkan infeksi
jamur. Dalam ilmu kedokteran disebut jamur Candida. Kehangatan dan
kelembaban vagina, merupakan lingkungan yang ideal untuk tumbuhnya jamur. Getah
atau cairan yang ditimbulkan keputihan berwarna putih, kental, keruh dan
kekuning-kuningan. Biasanya rasanya gatal, membuat vagina meradang dan luka.
Penyebab
timbulnya keputihan di antaranya:
a.
Menopause.
Yaitu masa yang
sudah tidak keluar haidl. Sebab dengan aktif keluar haidl, ada cairan yang
selalu membasahi dinding vagina dan mempertahankan vagina tetap segar dan
sehat.
b.
Pil penghambat ataupun penyubur
kehamilan.
Hal ini
disebabkan, pil tersebut mempunyai efek mengurangi ketahanan pelindung vagina
dari infeksi jamur.
c.
Efek dari Kontrasepsi dalam rahim.
d.
Stress.
e.
Celana yang terbuat dari Nilon.
f.
Celana ketat.
g.
Sabun bubuk pembersih.
Cara Pengobatan
keputihan di antaranya:
a.
Mendatangi dokter atau Klinik khusus.
b.
Ramuan-ramuan alami.[27]
Seperti
merendam kurang lebih 8 butir bawang putih dalam air cuka selama dua hari
sampai minyak bawang terurai. Kemudian ambil satu sendok makan dan campur
dengan kurang lebih setengah liter air. Gunakan dua hari sekali dalam satu
minggu untuk pembersih vagina.
Atau satu butir
bawang putih diiris jadi dua. Lalu dibungkus dalam kain ayakan. Masukkan dalam
vagina dan biarkan selama kira kira semalam.
Perlindungan
diri dari Keputihan di antaranya:
a.
Memelihara kesejukan daerah genital
(sekitar vagina).
b.
Menjaga kebersihan.
c.
Mencuci pakaian dengan air mendidih,
tanpa sabun.
d.
Menjauhi aktifitas secara berlebihan.
Apakah getah vagina
termasuk darah haidl ?
Dalam
kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa, haidl adalah darah yang keluar dari urat
(otot) yang pintunya terdapat pada penghujung uterus (pangkal rahim/aqso
al-rohmi) yang punya warna, sifat dan masa yang khusus. Sedangkan istihadloh
adalah darah yang keluar dari urat di bawah uterus (adna al-rohmi) di luar masa
haidl.[28]
Dengan demikian getah
vagina dan keputihan, bukanlah darah haidl dan istihadloh. Karena keluar dari
luar anggota tersebut. Yang dalam istilah fiqih dikatagorikan Ruthubatul
Farji (cairan farji), dan hukumnya sebagaimana berikut: [29]
1.
Bila keluar dari balik liang farji
(anggota farji bagian dalam yang tidak terjangkau penis saat bersenggama), maka
hukumnya najis dan menyebabkan batalnya wudlu, sebab keluar dari dalam tubuh.
2.
Bila keluar dari liang farji (anggota
farji yang tidak wajib dibasuh ketika istinja’ dan masih terjangkau penis saat
bersenggama), maka hukumnya suci menurut sebagian ulama.
3.
Bila keluar dari luar liang farji
(anggota farji yang tampak ketika jongkok), maka hukumnya suci.
Dengan
demikian, karena keputihan dan cairan yang keluar dari farji bukan darah haidl,
maka tidak mewajibkan mandi. Namun bila cairan tersebut dihukumi najis (keluar
dari dalam tubuh), maka harus disucikan saat mau wudlu dan sholat. Dan jika
terus menerus keluar, maka hukumnya seperti istihadloh dan tata cara bersuci
serta ibadahnya akan dijelaskan dalam fasal berikut ini.1
Mengqodlo` Ibadah Yang Ditinggalkan Semasa
Haidl atau Nifas
Seorang wanita yang sedang
haidl atau nifas tidak wajib mengqodlo`i semua ibadah yang
ditinggalkanya kecuali puasa, begitu pula sholat yang ditinggalkanya pada saat
darah haidl keluar setelah masuknya waktu sholat yang cukup untuk melakukan
sholat dengan singkat (2 rokaat) bagi wanita normal dan ditambah waktu yang
cukup untuk digunakan bersuci bagi wanita yang tidak diperbolehkan bersuci
sebelum masuknya waktu sholat, seperti wanita yang terus menerus hadast
(seperti mustahadhoh atau orang beser) atau wanita yang bersuci dengan
tayammum. Sedangkan bila ternyata tidak demikian, maka tidak diwajibkan mengqodlo`i
sholat. Apabila berhentinya darah haidl atau nifas berada dalam waktu sholat
yang minimal masih muat digunakan takbirotul ihrom (mengucapkan lafadz
Allahu Akbar), maka sholat tersebut
wajib dikerjakan baik dengan ada’ atau Qodho’, begitupula sholat sebelunya yang
bisa dijama’.
Contoh: 1
Waktu untuk sholat maqhrib
telah masuk sampai 15 menit. Sebelum melakukan sholat ternyata darah haidl atau
nifas keluar, maka yang wajib diqodlo`i setelah suci hanya sholat
maqhrib saja sebab waktu 15 menit itu sudah cukup digunakan melaksanakan
sholat.
Contoh: 2
Tepat jam 09.00 darah haid
atau nifas keluar, sepekan kemudian darah haid atau nifas berhenti pada waktu
sholat ashar, sementara waktu sholat ashar hanya cukup untuk
melakukan takbirotul ihrom, maka yang wajib diqodlo’
adalah sholat ashar dan sholat
dzuhur sebelumnya, sebab sholat dhuhur bisa dijama dengan ashar, Demikian
pula apabila darah berhenti pada waktu sholat ‘isya’, maka sholat magrib
sebelumnya juga wajib diqodho’.
Tata Cara Bersuci dan Sholat Bagi Mustahadloh dan Wanita yang Mengalami
Keputihan atau Keluar Cairan.
Bagi wanita
yang mengalami istihadloh, atau selalu hadats (da’imul hadats), seperti selalu
keluar cairan atau keputihan dari dalam tubuh, maka ketika mau sholat harus
mengikuti aturan berikut ini: [30]
1.
Membersihkan farji dari najis yang
keluar.
2.
Menyumbat farji dengan semacam kapuk.
Hal ini harus dilakukan ketika ia tidak merasakan sakit saat disumbatdan pada
waktu puasa, hal ini harus dihindari pada siang hari, karena akan menyebabkan
batal nya puasa.
Dalam
menyumbat farji, tidak dianggap cukup bila penyumbatnya hanya dimasukkan pada
anggota farji yang tidak wajib disucikan saat istinja’. Namun harus masuk ke dalam. Agar ketika
sholat, ia tidak dihukumi membawa sesuatu yang bertemu dengan najis. Dan jika
darah terlalu deras keluar sehingga tembus diluar penyumbat, maka tidak apa-apa
karena dlorurot.
3.
Wudlu dengan muwalah
(terus-menerus), yaitu dalam membasuh anggota wudlu anggota yang dibasuh
sebelumnya masih basah (belum kering). Dan niatnya adalah:
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ
لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالىَ
Maksudnya, niat
berwudlu agar diperbolehkan melakukan sholat, tidak boleh dengan niat
menghilangkan hadats.
4.
Segera melaksanakan sholat. Hanya saja
boleh menundanya karena untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan
kemaslahatan sholat. Seperti menutup aurot, menjawab adzan, menanti jama’ah dan
lain lain.
Semua
tata cara di atas dilakukan secara berurutan dan setelah masuk waktu sholat.
Jika salah satunya tidak terpenuhi atau mengalami hadats yang lain, maka harus
diulangi dari awal. Tatacara tersebut harus dilakukan setiap akan melaksanakan
sholat fardlu. Sehingga satu rangkaian thoharoh
tersebut tidak boleh digunakan untuk dua sholat, kecuali sholat sunah, maka
boleh berulang-ulang.
Hal-Hal yang Diharamkan
Bagi Wanita yang Sedang Haidl atau Nifas
Hal-hal
yang diharamkan bagi wanita ketika mengalami haidl atau nifas adalah sebagai
berikut:
1. Sholat
(fardlu atau sunah)
2. Sujud
syukur dan tilawah
3. Puasa
(wajib atau sunah)
4. Thowaf
(wajib atau sunah)
5. Membaca
Al-Qur’an dengan tanpa niat dzikir
6. Menyentuh
atau membawa Mushhaf (Al-Quran)
7. Berdiam
diri dalam Masjid
8. Lewat
dalam Masjid bila hawatir ada darah yang menetes pada masjid
9. Dicerai
bagi selain Mutahayyiroh
10. Bersetubuh
atau bersentuhan kulit antara lutut dan pusar
Melahirkan
Minimal masa hamil adalah
enam bulan lebih sedikit (waktu jima’ dan melahirkan). Masa itu terhitung mulai
waktu yang mungkin digunakan suami istri bersetubuh setelah aqad nikah.
Sedangkan pada umumnya, masa hamil adalah sembilan bulan. Dan paling lamanya
adalah empat tahun.[31]
Sehingga jika
ada bayi yang lahir setelah masa enam bulan lebih sedikit setelah pernikahan,
maka nasabnya ikut kepada suami. Demikian pula jika lahir sebelum empat tahun
dari masa cerai atau wafat. Hal ini terhitung dari masa mungkinnya hamil atau wafat. Berbeda jika lahir sebelum
masa enam bulan setelah pernikahan atau setelah empat tahun dari perceraian
atau wafat, maka nasabnya tidak kepada suami.[32]
Bulan yang
dibuat ukuran minimal, umum dan maksimalnya masa hamil adalah 30 hari, tidak
memakai bulan penanggalan.[33]
Aborsi (pengguguran bayi)
Aborsi yang
dilakukan setelah usia kandungan 120 hari (setelah ditiupnya ruh), hukumnya
haram. Sedangkan aborsi sebelum kandungan berusia 120 hari, terjadi perbedaan
pendapat di antara ulama. Menurut Ibnu
Hajar (pendapat yang muttajih/kuat) hukumnya haram. Sedangkan menurut Imam
Romli hukumnya tidak haram.[34]
Penggunaan alat Kontrasepsi
Menggunakan
alat kontrasepsi, baik berupa pil, obat suntik atau spiral hukumnya adalah
sebagai berikut:
a.
Apabila penggunaan alat itu bisa
menyebabkan tidak bisa hamil selamanya, maka haram.
b.
Apabila penggunaan alat kontrasepsi
hanya untuk memperpanjang jarak kehamilan dan tidak ada udzur, maka hukumnya
makruh.
c.
Apabila
penggunaan alat itu untuk memperpanjang jarak kehamilan, dan dilatar belakangi
oleh adanya udzur, seperti demi kemaslahatan merawat anak, hawatir terlantarnya
anak dan lain-lain, maka hukumnya tidak makruh.[35]
Bayi kembar
Dua
bayi dihukumi kembar, jika jarak antara bayi pertama dan kedua tidak lebih dari
minimal masa hamil. Sedangkan jika jaraknya genap enam bulan atau lebih, maka
tidak dinamakan bayi kembar.[36]
Iddah
Iddah adalah masa penantian
seorang wanita untuk mengetahui keadaan rahimnya atau semata hanya untuk
melaksanakan ritual yang bersifat dogmatif (taabbudi).[37]
Faktor yang
menyebabkan wanita wajib menjalani masa iddah adalah sebagai berikut:
- Ditinggal mati suaminya, baik pernah disetubuhi oleh
suaminya yang telah mati tersebut atau belum. Sedangklan masa iddahnya
selama empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut masih dalam usia
haid atau sudah memasuki masa menopause, baik belum baligh
atau sudah lanjut usia.
- Karena diceraikan oleh suaminya. Wanita yang
diceraikan oleh suaminya, jika sudah pernah disetubuhi atau dimasuki oleh
spermanya, maka wajib melaksanakan iddah. Akan tetapi jika perceraian
terjadi, sementara suaminya belum pernah menyetubuhi atau memasukkan
spermanya, maka bagi istrinya tidak ada masa iddah.
- Sebab wathi subhat (hubungan biologis
yang tidak disertai dengan kepastian apakah betul pasanganya itu suaminya
atau bukan) atau memasukkan sperma orang lain dengan syubhat (tidak
mengerti jika sperma tersebut ternyata bukan milik suami). Bagi wanita
yang mengalami hal tersebut diatas juga diwajibkan menjalani masa iddah.
Adapun
masa iddah seorang wanita dicerai atau disetubuhi dengan syubhat
adalah selama tiga masa persucian bagi wanita yang masih mengalami haid dan
tiga bulan bagi wanita yang masih belum memasuki usia haidl atau sudah bebas
dari masa haid. Untuk wanita hamil masa iddahnya sampai melahirkan, baik karena
cerai, wathi syubhat atau ditinggal mati suami.
1. Fathu al-Qorib dan Hasyiyah al-Bajuri Juz I hal: 113
2. Fathu al-Wahab dan Hasyiyah al-Jamal Juz I hal:
246-247
3. Hasyiyah al-Jamal Juz I hal: 242
4. Al-Madzahib al-Arba’ah Juz I hal: 126-127
5.
Al-Bahru
al-Roiq fi Furu’ al-Hanafiyyah Juz I hal: 330-331
[2] Referensi :
1.
Al-Iqna’ Bi-Hamisyi
al-Bujairimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 367
2.
I’anah al-Tholibin Juz
IV hal: 80
3.
Fathu al-Mu’in bi
I’anah al-Tholibin Juz IV hal: 80-81
4.
Ta’limu al-Muta’allim
hal:4
5.
I’anah al-Tholibin Juz
IV hal: 181
[5] Referensi :
Hasyiyah
al-Jamal ala al-Manhaj Juz I hal: 235-236
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi Juz I hal: 456-457
[7] Referensi :
1.
Tuhfah al-Muhtaj Juz I
hal: 655-657
2. Hasyiyah Ibnu Qosim Syarh al-Bahjah Juz I hal: 575-576
[8] Sebetulnya ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam
menghukumi masa tidak keluar darah pada saat haidl atau nifas yang tidak
melebihi batas maksimalnya. Sementara keluarnya haidl atau nifas secara
terputus-putus (kadang keluar darah, kadang tidak). Pendapat yang kuat (qoul
As-Sahbi) menghukumi haidl. Dan sebagian ulama’ yang lain menghukumi suci (qoul
Talfiq) (Bughyah al-Mustarsyidin hal: 31)
[9] Referensi:
Roudlotu
al-Tholibin juz I hal: 166
[10] Referensi
:
Al-Muhadzab Juz I hal: 39
Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatihi Juz I ha: 458
[12] Referensi
:
Mughni al-Muhtaj Juz
I hal: 113
1. Hasyiyah
al-Bujairimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 341
2. Al-Mahali dan hasyiyah Qulyubi Juz I hal: 102-103
Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Manhaj Juz I hal: 248-249
[15] Referensi
:
Ghuror
al-Bahiyah dan Hasyiyahnya Juz I hal: 586,587 dan 594
[16] Referensi
:
Roudloh
al-Tholibin Juz I hal: 142-143
[17]
Referensi :
Al-Mahali
dan Hasyiyah ‘Umairoh Juz I hal: 104
[18] Referensi
:
Roudlotu
al-Tholibin Juz I hal: 144-145
[19] Referensi
:
1.
Al-Mahali Juz I hal:
105
2. Syarhu al-Roudl Juz I hal: 104-105
3. Fathu al-Jawad Juz I hal: 84-85
[20] Perlu
diketahui bahwa adat haidl yang bisa dijadikan acuan tidak harus diambil dari
pengadatan haidl yang normal akan tetapi juga bisa diambil dari pengadatan
haidl lewat tamyiz.
Contoh: keluar
darah hitam 5 hari, darah merah 25 hari, darah hitam 2 bulan, maka haidlnya
untuk bulan pertama adalah 5 hari suci 25 hari (masa keluar darah merah).
Sedangkan untuk 2 bulan selanjutnya haidlnya disesuaikan dengan bulan pertama
(5 hari).
Referensi : Hasyiyah al-Bajuri Juz I hal: 111, Raudloh al-Tholibin Juz I hal: 151,
Ghuror al-Bahiyah Juz I hal: 605-607.
Al-Tahrir dan Hasyiyah al-Syarqowi Juz I
hal: 154-155
Al-Syarqowi Juz I hal: 155
Al-Syarqowi Juz I hal: 155
Hasyiyah al-Bujairimi
‘ala al-Khotib Juz I hal: 346-347
1. Tuhfah al-Muhtaj Juz I hal: 673-675
2.
Hasyiyah al-Bujarimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 347-349
3. Tuhfah al-Muhtaj Juz I hal: 673-675
4.
Hasyiyah al-Bujarimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 347-349
5.
Raudloh al-Tholibin
Juz I hal: 157
1 Referensi
:
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 349-350
[26]
Referensi :
1.
Hawasyi
al-Madaniyyah Juz I hal: 196
2.
Hasyiyah
al-Bujarimi ‘ala al-Khotib Juz I hal: 352
3. Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiyah al-Syarwani Juz I hal:
633-634
[27] Keputihan:
Adji Dharma dan FX. Budiyanto.hal. 3, 33, 41, 51, 63.
[28] Referensi
:
I’anah al-Tholibin Juz I hal: 71-72
[29] Referensi
:
1. I’anah al-Tholibin Juz I hal: 86
2. Hasyiyah al-Qulyubi ‘ala al-Mahali Juz I hal:
71
[30]
Referensi :
Hasyiyah al-Bujairimi
‘ala al-Manhaj Juz I hal: 134-135
[31] Referensi
:
1.
Al-Bajuri Juz I hal:
113
2.
Hasyiyah al-Bujarimi
ala al-Khotib Juz I hal: 353-354
I’anah
al-Tholibin Juz IV hal: 49
[33] Referensi
:
Hasyiyah
al-Bujarimi ala al-Khotib Juz I hal: 346
[34] Referensi
:
Hasyiyah al-Jamal ala al-Manhaj Juz IV
hal: 446-447
1.
Hasyiyah al-Jamal ala
al-Manhaj Juz IV hal: 447
2.
Ihya’ ‘Ulumu al-Din
Juz II hal: 53
3.
Fatawi
al-Romli bi hamisy al-Fatawy al-Kubro
Juz IV hal: 203
Referensi :
Hasyiyah al-Jamal ala al-Manhaj Juz IV
hal: 446
I’anah al-Tholibin Juz IV hal: 37-43