PENDAHULUAN
Istilah kedua
dari judul di atas adalah universalitas Islam. Istilah ini diproduksi oleh
sebuah ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa jika Islam sebagai agama yang
dianutnya, maka harus mengambil Islam secara menyeluruh ( ). Kata Kaafah ()
inilah yang kemudian mengilhami kaum Muslimin berpendirian bahwa Islam itu
adalah agama yang bermuatan aturan-aturan universal dalam kehidupan umat
manusia. Oleh Allah sendiri Nabi Muhammad dinyatakan sebagai Nabi Universal ().
Universalitas
Islam[1]
--menurut hemat penulis-- dapat ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya
adalah [1] sifat-sifat ajaran Islam tidak hanya bersifat ukhrawi an sich, namun
ia juga berbicara mengenai persoalan-persoalan duniawi secara seimbang, [2]
bentuk-bentuk ajaran Islam yang dapat diaktualisasikan oleh seluruh jenis dana
bentuk manusia, [3] fleksibelitas ajaran Islam, tidak dogmatis dan permanen,
sehingga memungkinkan untuk dapat difikirkan dan difahami oleh semua orang,
termasuk mereka yang non Muslim, sesuai dengan tempat dan waktu yang sedang
berjalan. Sekarang pertanyaannya adalah apakah universalitas Islam itu masih
memerlukan adanya pembebasan, sementara universalitas itu sendiri sudah memuat
makna-makna pembebasan?
REKONSTRUKSI
TEOLOGI ISLAM
Timbulnya
persoalan-persoalan teologis dalam Islam dimulai tidak jauh setelah wafatnya
Rasulullah, tepatnya ketika terjadi bentrokan antara Ali b. Abi Thalib di satu
pihak dengan Mu’awiyah b. Abi Sufyan di pihak lain, yaitu berdirinya tiga
aliansi politik yang terwujud akibat tahkim. [1] Syi’ah sebagai pengikut setia
Ali b. Abi Thalib. [2] Khawarij sebagai pengikut Ali b. Abi Thalib yang
kemudian membelot dan membentuk aliansi politik tersendiri dan berbalik
mengecam sikap Ali. [3] Murji’ah sebagai pihak yang tidak mau ikut campur dalam
masalah-masalah yang disengketakan (kelompok independen; non blok).
Semula ketiga
kelompok itu hanyalah aliansi-aliansi yang murni politik, namun implikasi
berikutnya adalah berbicara pada masalah-masalah teologis yang tidak pernah
diperbincangkan oleh generasi sebelumnya (Khulafa’
al-Rasyidin). Pada masa berikutnya, yaitu pada masa pemerintahan Bani
Umayah paroh kedua dan Bani Abbasiyah, benturan-benturan teologis menjadi suatu
agenda utama dalam diskursus keilmuan Islam. Ditambah lagi masuknya filsafat
Yunani ke dalam struktur keilmuan Islam, yang tidak hanya mempengaruhi pada
pemikiran teologi, namun juga mewarnai hampir seluruh pemikiran Islam ketika
itu.
Perkembangan
teologi dalam Islam yang bercampur dengan filsafat Yunani itu bukan tanpa
alasan. Dimulai sejak kaum Muslimin berusaha melindungi ajaran-ajaran mereka vis a vis para pengikut agama lain,
khususnya Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran mereka dengan
logika dan filsafat Yunani.[2]
Kelompok yang pertama kali berhadapan dengan pemikiran-pemikiran filsafat
Kristen adalah kelompok Mu’tazilah,[3]
yang secara intensif memperdebatkan persoalan-persoalan determinisme dan free will,
alam sebagai simbol Tuhan dan sebagainya. Setelah abad ke 4/10, teologi dalam
Islam didominasi oleh aliran al-Asy’ariyah, yang kemudian mempengaruhi ajaran
teologi Sunni, bahkan dunia Islam sampai sekarang, sebagai respon terhadap
berbagai aliran rasional yang didasarkan pada filsafat Yunani.[4]
Pada masa inilah
teologi Islam telah menemukan format yang mapan dan sudah mencapai puncak
kemajuannya, namun setelah terjadinya kemandekan pemikiran dalam Islam
--bersama-sama ilmu-ilmu Islam yang lain--, maka teologi pun mengalami
kemandekan. Bahkan oleh beberapa pemikir Muslim mempelajari ini termasuk
sesuatu yang sia-sia belaka.[5]
Oleh karena itu tugas para pemikir sekarang (calon pemikir) adalah bagaimana
membuat konstruksi-konstruksi teologi baru, yang diharapkan mampu merubah atau
memperbaiki sistem teologi lama yang kaya dengan dinamika itu, menjadi sesuatu
yang tidak hanya dinamis, namun juga mampu menjembatani berbagai corak teologi
yang berkembang dalam dunia Islam. Namun ini bukanlah sesuatu yang mudah.
hasil, tetapi
kemudi-an dapat dipukul mundur oleh pasukan Inggris. Akibatnya pada tahun 1858
Inggris mengusir penduduk Delhi dan menghancurkan gedung-gedung Kerajaan
Mughal, sehingga yang tinggal hanyalah puing-puing berantakan.
Dalam suasana
seperti digambar-kan di atas, di India timbul kesadaran pemimpin-pemimpin Islam
akan kelemahan dan kemunduran umat Islam. Maka timbullah tokoh-tokoh pembaru
India, di antaranya Syah Waliyullah, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali dan
Muhammad Ali Jinnah.
RIWAYAT
HIDUP SYED
AMEER
ALI
Syed Ameer Ali
lahir di Cuttack, Orissa, India bagian Timur pada tangga 6 April 1848. Di dalam
memorinya dia mengaku masih keturunan dari Imam Syi’ah ke 8, Ali al-Ridha.[6]
Ayahnya, Saddad Ali Khan, adalah seorang dokter yang hidup berpindah-pindah di
antara kota-kota yang ada di India. Terakhir dia menetap di Cuttack, dan di
kota terakhir inilah Ameer Ali dilahir-kan.[7]
Sementara nenek moyangnya, pada masa Nadir Syah (1736-1747) pindah dari
Khurasan, Persia ke India. Mereka menetap di sana dana bekerja di Istana
Mughal.[8]
Sadat Ali Khan
adalah seorang yang mengerti perubahan zaman. Dia menginginkan kelima anaknya
(Ameer Ali anak ke 4) dapat dididik di sekolah terbaik. Untuk itu, dia pindah
ke Calcutta dan memasukkan anak-anaknya ke sekolah Inggris. Setelah itu dia
pindah ke Hoogly dan memasukkan anak-anaknya ke Muhainiah College. Kendati
anak-anak dikirimkan untuk sekolah di sekolah Inggris, Sadat Ali masih
beranggapan bahwa pendidikan Islam tradisional itu penting. Oleh karena itu,
dia menggaji seorang guru untuk memberikan pelajaran bahasa Parsi, Urdu dan dasar-dasar Agama Islam
kepada semua anaknya.[9]
Menurut Ahmad
Amin, Ameer Ali adalah seorang yang luas ilmu pengetahuannya, baik ilmu
pengeta-huan umum maupun agama. Kegemarannya membaca buku-buku sejarah dan
sastra semenjak kecil berpengaruh besar terhadap dirinya dan menimbulkan
keinginannya untuk menjadi sejarawan Islam. Bahkan sebelum ia berusia 12 tahun,
dia telah membaca karya Gibbon yang berjudul “The Decline and Fall of the Roman Empire”. Perhatian Ameer Ali
terhadap sejarah dapat dibuktikan dengan diterbitkan buku-nya yang berjudul “The Spirit of Islam” dan “A Short History of Saracens”.[10]
Dalam kegiatan politik-nya, pada tahun 1877 dia mendirikan The National
Association. Pada tahun 1904 ia meninggalkan India dan menetap di Inggris sampai
akhir hayatnya. Ia meninggal pada tahun 1928 dalam usia 79 tahun.
BUTIR-BUTIR
PEMIKIRAN SYED AMEER ALI
Di antara
sumbangan besar yang diberikan Syed Ameer Ali terhadap dunia Islam adalah
karyanya tentang sejarah Islam yang dituangkan dalam bukunya “The Spirit of Islam”.
Syed Ameer Ali
adalah orang yang kembali ke sejarah lama untuk membawa bukti bahwa Islam
adalah agama rasional dan agama kemajuan. Ia berpendapat dan berkeyakinan bahwa
Islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran. Sebaliknya, Islam adalah
agama yang membawa kemajuan.[11]
Sebagai seorang
pemikir yang kembali ke masa lampau, ia dalam tulisannya banyak mengupas
ajaran-ajaran Islam tentang tauhid, ibadah, hari akhirat, kedudukan wanita,
perbudakan dan sebagainya. Ia memberi argumen-argumen untuk menyatakan bahwa
ajaran Islam itu tidak bertentangan, bahkan sesuai, dengan pemikiran dan
perkembangan akal.[12]
Dalam pengantar
bukunya, ia menjelaskan, bahwa ditulisnya buku itu adalah sebagai usaha untuk
memposisikan Islam sebagai agama dunia dan menjelaskan bahwa Islam adalah
penggerak kemajuan akal manusia, yang ini belum banyak diketahui dan difahami
secara baik dan wajar.[13]
KONSEP
KETUHANAN
Di kalangan orang
Arab penyem-bah berhala, pengertian tentang ketuhanan berbeda-beda menurut
orang seorang atau suku. Sebagian orang mempunyai keyakinan dan kepercayan
untuk memuja terhadap segumpal adonan roti, sebuah tongkat atau batu. Penduduk
liar gurun pasir tidak membutakan mata terhadap kemungkinan adanya sesuatu
kekua-saan yang tidak kelihatan yang menghalau angin bertiup di atas
padang-padang luas atau yang mem-bentuk pemandangan-pemandangan indah yang
muncul di depan mata musafir.[14]
Di samping itu,
sebagian orang Yahudi belum pernah meninggalkan sama sekali terhadap pemujaan
kepada terafim, semacam dewa-dewa
keluarga yang dibuat manusia dan diminta pertimbangannya terhadap masalah yang
terkait dengan segala kesempatan atau juga dianggap pelin-dung rumah tangga.[15]
Banyak orang yang
memeluk agama Kristen yang mencari pegangan pada seorang manusia yang
disebutnya Tuhan. Masyarakat memuja Yesus sebagai Tuhan. Sekte Collyridian lebih jauh lagi mengajarkan, bahwa Bunda Maria juga
sebagai Tuhan yang harus disembah dan diberi sesajian berupa kue-kue yang
disebut Collyris. Akhirnya Konsili
Nicea menetapkan, bahwa di samping Tuhan Bapak, ada dua Tuhan lagi, yaitu Yesus
Kristus dan Bunda Maria.[16]
Selanjutnya Syed
Ameer Ali
menjelaskan bahwa konsep
Keesaan Tuhan yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Islam berdiri paling depan untuk
menghadapi kecende-rungan manusia menyekutukan Tuhan dengan makhluk lain.
Berulang kali ayat al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada Tuhan
selain Allah. Al-Qur’an juga menegaskan tentang tanda-tanda Keesaan Tuhan.[17]
Kemudian di samping menegaskan tentang keesaan Tuhan, al-Qur’an juga mengecam
orang Yahudi karena menyembah desa-dewa palsu dan berhala, yaitu terafim, dan karena berlebihan dalam
memuliakan Uzair. Al-Qur’an juga mengecam orang Kristen karena memuja Nabi Isa
dan ibunya.[18]
KONSEP
HARI AKHIRAT
Syed Ameer Ali
berpendapat, bahwa gagasan hidup akherat itu merupakan fenomena umum manusia.
Bangsa yang pertama sekali menimbulkan kepercayaan pada hidup akherat adalah
bangsa Mesir. Setelah itu disusul oleh bangsa Yahudi. Demikian seterusnya
hingga Islam. Gagasan utama dan terkemuka dalam Islam mengenai hidup dan
kehidupan di akherat ini berdasarkan kepercayaan bahwa dalam hidup sesudah
mati, tiap makhluk hidup harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia,
dan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan setiap orang akan tergantung kepada
caranya ia melaksanakan perintah Penciptanya.[19]
Selanjutnya
tentang bentuk balasan yang akan diterima di akherat terdapat perbedaan
pendapat, apakah dalam bentuk jasmani atau rohani. Namun, menurut Ameer Ali hal
itu tidak terlalu pokok. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada umumnya
menggambarkan bahwa pada hidup kedua itu manusia akan memperoleh upah dan
balasan dalam bentuk jasmani. Sementara Ameer Ali sendiri cenderung berpendapat
bahwa balasan nanti dalam bentuk rohani atau immateri.[20]
Pendapatnya ini dikuatkan dengan alasan ayat dan hadits. Pendapat Ameer Ali ini
sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh para filosof dan sufi.
Kalau ternyata
dalam al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang membe-rikan gambaran balasan jasmani,
maka itu semata-mata ditujukan kepada masyarakat awam yang mempunyai tingkat
pemikiran yang sederhana.
Ameer Ali
kemudian menjelaskan bahwa ajaran tentang akherat ini memiliki manfaat yang
besar, yaitu menanamkan prinsip tanggung jawab bagi manusia sehingga mendorong
mereka untuk selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat. Lebih jauh
lagi ajaran ini membawa kepada peningkatan moral masyarakat.[21]
IJTIHAD, SEMANGAT RASIONAL DAN ILMU PENGETAHUAN
Syed Ameer Ali
dengan tegas menyatakan, bahwa perubahan ke arah yang lebih maju itu merupakan
suatu keharusan. Berkaitan dengan pendapatnya ini, ia sangat menya-yangkan
terjadinya kemunduran umat Islam. Menurutnya, hal ini terjadi karena Islam di
zaman modern menganggap bahwa pintu ijtihad itu telah tertutup. Mereka tetap
memegangi dan menganggap masih relevan pendapat-pendapat ulama abad ke 9 yang
tidak mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi pada abad ke 20. Bagi mereka,
melakukan ijtihad merupakan perbuatan dosa.[22]
Untuk mencapai kemajuan kembali, umat Islam harus melakukan ijtihad yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang ada pada zaman sekarang.
Ketika hendak
membicarakan mengenai semangat rasionalis dalam Islam, Ameer Ali memulainya
dengan ayat 11 surat al-Ra’d.
Ini menunjukkan
pendiriannya, bahwa manusia itu memiliki kehen-dak bebas. Ia kemudian
menjelaskan secara rasional dengan mengutip ayat-ayat kauniyah, bahwa yang dimaksud dengan takdir Allah adalah sunnatullah. Dihubungkan dengan manusia,
maka hal tersebut mengan-dung arti, bahwa manusia memiliki kekuasaan atas
segala tindak tanduk yang dilakukannya. Semua itu sesuai dengan yang
digambarkan al-Qur’an, yaitu bahwa jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an adalah
jiwa kebebasan bagi manusia dalam berbuat, bukan jiwa fatalis. Jadi Islam bukan dijiwai oleh faham qada’ dan qadar atau
jabariah, tetapi oleh faham qadariah, yaitu faham free will dan free act.[23]
Untuk menguatkan pendapatnya ini ia juga menukil beberapa hadits.
Faham qadariah
inilah yang selanjutnya menimbulkan rasional-isme dalam Islam. Kedua faham ini
pula yang menimbulkan dan menye-babkan peradaban klasik jaya. Melalui kedua
faham ini, golongan Mu’tazilah telah berhasil membawa kemajuan ilmu pengetahuan
dan filsafat dalam Islam. Selanjutnya dalam waktu yang relatif cepat
rasio-nalisme Islam tersebar ke seluruh masyarakat terpelajar yang ada di
wilayah kekuasaan Islam ketika itu, bahkan sampai ke Spanyol.[24]
Tentang semangat
ilmu pengeta-huan dalam Islam, ia katakan bahwa ilmu pengetahuan memiliki
keduduk-an yang tinggi dalam ajaran Islam. Ameer Ali menggambarkan bagaima-na
kecintaan, perhatian dan pengem-bangan ilmu pengetahuan sudah dimulai sejak al-Khulafa’ al-Rasyidin. Pengembangan
ilmu penge-tahuan ini menemukan momentum-nya pada masa Bani Abbas. Saat itu
pengetahuan berkembang sangat pesat, sejalan dengan semakin semaraknya rasionalisme
Mu’tazilah. Pusat-pusat pendidikan bermunculan, seperti di Baghdad, Khurasan,
Nisabur, Kairo, fez dan Cordova. Menurut Harun Nasution cinta pada ilmu
pengetahuan tidak hanya terbatas pada kaum laki-laki, tetapi juga pada kaum
hawa.[25]
Dari paparan di
atas, Ameer Ali kelihatannya mengatakan, bahwa Islam itu agama rasional yang
mencintai ilmu pengetahuan dan memberi kebebasan berfikir. Karena itu, jika
umat Islam ingin maju seperti pada masa klasik, hal-hal seperti di atas harus
dibangkitkan dan dikembangkan kembali.
EKSISTENSI WANITA DALAM
ISLAM
Sepanjang sejarah
sebelum Islam datang, kedudukan wanita sangat rendah, bahkan lebih jauh lagi,
mereka hanya dijadikan obyek seksual kaum laki-laki. Pandangan dan perlakuan
bangsa-bangsa sebe-lum Islama terhadap kaum wanita, Ameer Ali tunjukkan dalam
kerangka poligami.
Poligami
menurutnya sudah melembaga sejak dulu. Di kalangan kaum penguasa (raja dan
bangsawan), poligami dipandang sebagai suatu yang sakral. Pandangan ini juga
dianut oleh masyarakat Hindu, Babilonia, Assyria, Persia dan Israel.[26]
Di kalangan orang Arab, di samping sistem beristri banyak, juga ada kebiasaan
hubungan perkawinan sementara.[27]
Semua itu menunjukkan kepada kita, betapa rendahnya kedudukan wanita. Kemudian
setelah Islam datang, keadaan menjadi berubah. Islam telah mendudukkan wanita
pada tempat yang terhormat.
Poligami yang
menjadi kecende-rungan ajaran-ajaran selain Islam ternyata mendapatkan
pembatasan dalam Islam. Bahkan Ameer Ali berpendapat bahwa agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad mempunyai kecenderungan monogami, bukan poligami. Dalam
menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 3, ia menganggap bahwa sekalipun secara sekilas
memperlihatkan kebolehan berpoligami, jiwa ayat itu sesungguhnya melarang
berpoligami. Syarat adil yang disebutkan di situ sebenarnya sangat sukar untuk
dipenuhi dan dilaksanakan oleh seorang suami.[28]
Sekalipun Ameer
Ali menekankan
perkawinan monogami, ia juga
tidak memungkiri kenyataan adanya poligami. Hal ini menurutnya bisa terjadi
tergan-tung pada keadaan. Ada masa-masa dan keadaan masyarakat, di mana
poligami itu sungguh-sungguh perlu dilaksanakan, demi untuk memelihara wanita
dari kelaparan dan kemelaratan.[29]
Perkawinan dalam
Islam tidak meletakkan wanita berada di bawah laki-laki. Pada keadaan tertentu,
wanita dapat mengajukan gugat cerai kepada suami-nya. Hal ini menunjukkan
penghargaan Islam terhadap harga diri wanita cukup tinggi yang tidak pernah
terdapat dalam ajaran-ajaran sebelum Islam.[30]
PERBUDAKAN
Perbudakan itu
sama tuanya dengan usia manusia. Sistem perbudakan berlaku hampir di setiap
bangsa, seperti Yunani, Romawi, Yahudi, Jerman dan lain-lain. Agama Kristen
sebagai suatu sistem dan kepercayaan tidak melon-tarkan protes terhadap
perbudakan, tidak mendatangkan peraturan, dan tidak memberikan dasar untuk mengurangi-nya.
Berbeda dengan ajaran-ajaran sebe-lumnya, Islam datang membawa ajaran untuk
membebaskan budak.
Dalam ajaran
Islam, sistem perbu-dakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam
masyarakat dan dapat diterima untuk sementara. Ajaran-ajaran mengenai perlakuan
baik dan pembebasan terhadap budak, pada akhir-nya harus membawa kepada
penghapus-an sistem perbudakan dalam Islam.[31]
Implikasi dari ajaran ini adalah adanya dosa-dosa tertentu yang dapat ditebus
dengan memerdekakan budak. Kemudi-an budak juga diberi kesempatan untuk membeli
kemerdekaannya dengan upah yang diperolehnya. Islam juga mengajar-kan agar
memperlakukan budak dengan baik dan tidak membedakannya dengan manusia lain.[32]
ISLAM
DAN POLITIK
Setidaknya ada
tiga persoalan pokok yang ditekankan oleh Ameer Ali mengenai politik, yaitu
toleransi dan persamaan antar warga negara, pengatur-an negara dan perpecahan
politik.
1. Toleransi dan Persaman Antar Warga Negara
Essensi politik
Islam adalah toleransi dan persaman. Toleransi yang diberikan Islam terhadap
pemeluk lain meliputi perlindungan terhadap jiwa, agama, dan harta benda.
Pemerintahan Islam tidak akan menghalangi pelaksanaan ibadah dan peringatan
hari-hari besar mereka, tidak akan mengusir pendeta atau pemuka mereka, dan
juga tidak akan menghancurkan salib.[33]
Di samping
toleransi, persaman antar warga yang dimaksud adalah persaman hak dan kewajiban
warga negara di mata hukum Islam.[34]
Maksudnya setiap tindakan pidana yang dilakukan, baik oleh Muslim maupun non
Muslim, penguasa atau rakyat, akan ditindak sebagaimana hukum yang berlaku.
2.
Pengaturan Negara
Dalam pengaturan
negara, Islam memberikan konsep. Pertama,
konstitusi berlandaskan kepada penjunjungtinggian hak dan kewajiban. Kedua, hukum harus berdasarkan prinsip
persamaan, sederha-na dan tepat. Ketiga
kedudukan hukum harus lebih tinggi dari kedudukan kekuasaan.[35]
Anis Ahmad
menyimpulkan uraian Ameer Ali tentang konsep pengaturan negara yang dikehendaki
Islam sebagai berikut. Pertama, semua
manusia adalah sama, oleh karenanya mereka punya hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam politik negara sekaligus tanggung jawab yang sama. Kedua, Islam menolak segala bentuk
penindasan serta mengutuk para penindas rakyat, seperti raja yang diktator. Ketiga, sistem politik Islam berdasarkan
hukum Allah. Otoritas tetap di tangan rakyat, dengan kata lain rakyatlah yang
memegang keputusan dengan bantuan al-Qur’an dan Hadits.[36]
3.
Perpecahan Politik
Kendati Islam
telah memberikan konsep tentang pengaturan negara, hubungan antar warga negara
berjalan dengan baik dan ideal. Namun dalam kenyataannya, bentuk pemerintahan
dan politik Islam yang tercatat dalam sejarah, semenjak kekuasaan Bani Umayyah
telah terjadi pergeseran dan penyimpang-an. Dasar-dasar persamaan, toleransi
dan musyawarah telah ditinggalkan.
Semenjak
Mu’awiyah memimpin, khalifah-khalifah bukan lagi dipilih dengan suara
terbanyak. Yang berkuasa menunjuk calon penggantinya dengan memaksa rakyat
untuk bersumpah setia terhadapnya.[37]
Absolutisme tidak
selamanya nega-tif. Absolutisme di tangan Abbasiyah ternyata membawa
nilai-nilai posititf untuk kemajuan umat Islam. Ilmu pengetahuan dan ekonomi
semakin berkembang. Sistem politik dan adminis-trasi Abbasiyah, yang kemudian
diguna-kan oleh dinasti-dinasti sesudahnya, juga berasal dari kecakapan Mansur
yang absolut.[38]
Di balik
kesuksesan di atas, terpecahnya kekuatan politik Islam telah menimbulkan
keprihatinan Ameer Ali. Dia menegaskan, bahwa penyebab utama perpecahan itu
berakar pada permusuhan klasik antara suku-suku Arab, serta perasaan cemburu
dari suku Quraisy terhadap Bani Hasyim khususnya.[39]
PENUTUP
Syed Ameer Ali
adalah seorang pemikir di India yang hidup pada akhir abad 19 dan awal abad 20,
memuja dan menonjolkan kejayaan Islam pada masa lampau. Melalui pemikirannya
itu ia bermaksud mengemukakan, baik kepada kawan maupun lawan, bahwa Islam
adalah agama rasional dan agama kemajuan. Hal ini dilakukan dengan mengurai-kan
suatu konsep terdapat pada agama-agama lain, kemudian ia bandingkan konsep
tersebut menurut Islam.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab
[1]Untuk lebih memahami makna universalitas
Islam secara panjang lebar dapat dilihat Harun Nasution, Islam
Rasional, (Bandung : Mizan, 1995), hal. 32-36
[2]Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah : Manhaj wa
Tatbiquh, vol. II, (Mesir : Dar al-Ma'arif, 1976), hal. 24. Dalam
tulisan-tulisan Theodorus Abicara (w. 826 M.) terdapat polemik tentang Islam
dalam bentuk diskusi antara orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim. Dalam
hal ini kita tidak mempunyai pikiran bahwa ulama Muslim mempelajari
tulisan-tulisan pemikir Yunani, tetapi pandangan-pandangan itu diperoleh dari
pembicaraan praktis dan perdebatan Kristen-Muslim. Lihat A. Mukti Ali,
"Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam", dalam Pesantren,
No. 3/vol. VIII/1991, hal. 7
[3]Sebutan lain dari Mu'tazilah adalah ahl al-adl wa al-tauhid, ahl al-haq, al-qadariyah, al-sanawiyah wa al
majusiyah, al-khawarij, al-wa'idiyah dan al-mu’attilah. Lihat Ahmad Azhar
Basyir, Refleksi..., hal. 29
[4]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam,
(New York, Toronto and London : New American Library, 1970), hal. 305. Meskipun
Asy’ariyah sendiri akhirnya tidak dapat dilepaskan dari filsafat Yunani,
terutama neo-Platonisme.
[5]Lihat misalnya pernyataan-pernyataan Ibn Rusyd dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan teologis yang berkembang ketikan itu, dalam Ibn Rusyd, Manahij
al-Adillah fi Aqa’id al-Millah, (Cairo : Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, 1964)
[7]Anis Ahmad, Two Approuches to Islamic History : a
Critique of Shibli Nu’mani’s and Syed Ameer Ali’s Interpretation of History,
(Michigan : University Microfilm Internasional, 1986), hal. 55
[9]Anis Ahmad, Two...., hal. 55
[10]Ahmad Amin, Zu’ama’ al-Ishlah fi Ashr al-Hadits,
(Cairo : Maktabah al-Nahdlah
al-Misriyah, 1979), hal. 149. Lihat juga Anis Ahmad, Two..., hal. 56
[12]Ibid.
[13]Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi : Idarat
Adabiyah, 1978), hal. vii
[17]Ibid.143-158
[18]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid
[23]Syed Amir Ali, The Spirit..., hal. 403
[26]Syed Amir Ali, The Spirit..., hal. 222
[32]Ibid.
[33]Syed Ameer Ali, The Spirit..., hal. 271
[36]Anis Ahmad, Two..., hal. 202
[37]Ameer Ali, The Spirit..., hal. 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar