1.
Riwayat
Hidupnya
Nama lengkapnya Al-Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Uzlaq Al-Farabi. Beliau lahir di Wasij di daerah Farab
(Turkestan tahun 870 M (257 H). Ayahnya adalah
seorang perwira tentara dari Persia ,
sedangkan ibunya berasal dari Turkestan .[1]
Pada waktu mudanya, Al-Farabi tinggal dan belajar di Baghdad . Hatinya tertarik
kepada Baghdad karena tersohornya kota itu sebagai ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Di sana
beliau belajar bahasa dan sastra Arab kepada Abu Bakar al-Salaj, Logika serta
Filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus Ibn Yunus, seorang Kristen Nestrorian yang
banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan kepada Yuhana Ibn Hailam. Kemudian ia
pindah ke Harran sebagai salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil. Di sana
ia belajar Metafisika kepada Yuhanna bin Hailan. Tidak berapa lama kemudian, ia
kembali ke Baghdad
untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota
ini selama 20 tahun dan ia juga menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku
filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn
‘Adi, filsuf Kristen.[2]
Pada tahun 330 H/941 M, Al-Farabi pindah ke Damaskus
dan kemudian ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo (Halab), Saifuddaulah
al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan kealiman Al-Farabi, kemudian ia
diajaknya pindah ke Aleppo
dan ia diangkat sebagai seorang ulama istana. Dalam jabatan ia berada dalam
kehidupan mewah, karena tunjangan yang besar sekali. Namun sebagai seorang yang
telah memilih hidup zuhud (hidup sederhana), ia tidak tertarik dalam
kekayaan itu. Ia hanya memerlukan empat Dirham saja sehari untuk sekedar
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sisa tunjangan yang diterima
dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan usaha-usaha sosial lainnya.[3]
Lebih kurang 10 tahun lamanya ia hidup mondar-mandir
antara Aleppo
dan Damaskus. Akan tetapi hubungan baik antara dua penguasa kota
inilah telah berubah menjadi sangat buruk sekali, sehingga Saifuddaulah
menyerbu kota
Damaskus yang kemudian dapat dikuasainya. Setelah kemenangan itu, tidak lama
kemudian Al-Farabi meninggal dunia pada tahun 339 H/941 M di Damaskus dalam
usia 80 tahun.[4]
Al-Farabi adalah seorang filusuf Islam pertama, karena
dialah yang berhasil menyusun dasar-dasar falsafat atas keyakinan tauhid
menurut Islam. Ialah yang mula-mula menyatakan, bahwa tidak ada perbedaan
antara falsafat Plato dengan falsafat Aristoteles karena meskipun berlainan
kedua jalan pikirannya, bersatu dalam tujuan dan hakekatnya. Falsafat dan agama
baginya dua perkara yang bersatu padu dan tidak dapat dipisah-pisahkan, karena
kedua-duanya mencarai dan menuju kepada kebenaran. Ia berpendapat bahwa
falsafat dan agama berdasarkan atas kebenaran yang ditinjau dari sudut yang
berlainan. Masing-masing menempuh cara dan jalan yang tersendiri, falsafat
menempuh jalan pemikiran dan dasar logika, yang membuahkan hakekat untuk suatu
golongan ahli pikir. Sedangkan agama menempuh jalan wahyu dan kebersihan diri
yang membuahkan kebenaran untuk seluruh manusia.[5]
Menurut Farabi kebenaran sesuatu barang dapat dicapai
oleh manusia, jika akal manusia itu telah berhubungan dengan pokok akal yang
diciptakan Tuhan, yang dapat melahirkan cahaya sebagai percikan Ilahi. Oleh
karena itu, orang-orang suci di dunia ini tidak keluar dari pada dua golongan
manusia, yaitu golongan ahli falsafat dan golongan Nabi-Nabi. Tiap golongan ini
sanggup menempuh jalannya yang tertentu untuk mencapai cahaya Ilahi itu melalui
akal/wahyu yang diilhamkan Tuhan. Sementara ahli-ahli falsafat beroleh
kesanggupan ini dengan mempergunakan pandangan akal dan ketekunan falsafat,
Nabi-Nabi pun dikaruniai kesanggupan itu melalui kesucian dirinya dan kekuatan
gaib yang dikaruniai oleh Allah SWT. Dengan memperdekatkan kedua alam pikiran
ini, yang sebelumnya sangat berjauhan antara satu sama lain, menjadi mudah bagi
Farabi karena ia adalah seorang ahli falsafat dan juga seorang muslim dengan
karunia Tuhan kedua alam keahlian ini berkumpul menjadi satu dalam diri Farabi.
Dengan kealiman dan keluasan pengetahuannya. Ia mendapat gelar “Guru Kedua”
sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama”.[6]
2.
Karya-Karyanya
Banyak karangan yang ditinggalkan oleh Al-Farabi,
tetapi karangan-karangan tersebut tidak banyak dikenal seperti karya muridnya
Ibnu Sina. Boleh jadi karena karangan-karangan Al-Farabi hanya berupa risalah
(karangan pendek), dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam
pembicaraan adalah bukan saja mengarang kitab besar/makalah-makalah, namun juga
memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar
Al-Fraudismy dan Plotinus.
Sebagai contoh ulasan Al-Farabi terhadap karya Aristoteles
adalah masalah burhan (dalil), ibarat (keterangan), khitobah
(cara berpidato), al jadal (argumentasi/berdebat), qiyas
(analogi), mantiq (logika). Adapun ulasan ia terhadap karya plotinus
adalah kitab Al-Majesti fi Ihnil Falaq, juga terhadap karya Iskandar
Al-Dfraudisiy tentang Maqalah fin Nafsi.
Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah:
-
Al
Jami’u Baina Ra’yai Al-Hakimain Afalatoni Al Hahiy Wa Aristhothailes (Pertemuan/Penggabungan Pendapat Antara Plato dan Aristoteles)
-
Tahsilu
As Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
-
As-Suyasatu
Al-Madinah (Politik Pemerintahan)
-
Fususu
Al-Taram (Hakikat Kebenaran)
-
Arroo’u
Ahli Al-Madinati Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran
Utama Pemerintahan)
-
As-Syiyasyah (Ilmu Politik)
-
Fi
Ma’ani Al Aqli
-
Ihsho’u
Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
-
At-Tangibu Ala As-Sa’adah
-
Isbatu
Al-Mufaraqat
-
Al-Ta’liqat
Upaya-upaya untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran
Al-Farabi, maka kitab-kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
Inggris, Almania, Bahasa Arab, dan Prancis. Adapun karya yang pertama dari
Al-Farabi yaitu, Isho’u Al Ulum membahas berbagai ilmu dan cabang-cabangnya.
Sebagaimana di dalamnya memuat ilmu-ilmu Bahasa, ilmu Matematika, ilmu Logika, ilmu
Ketuhanan, ilmu Musik, Astronomi, ilmu Perkotaan, ilmu Fiqh, ilmu Fisika, ilmu Mekanika,
dan ilmu Kalam. Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh Al-Farabi
adalah ilmu Fiqih dan ilmu Kalam. Sedangkan ilmu Mantiq membahas 8 bagian,
yaitu:
-
Al Maqulaati
Al-Asyr (Kategori)
-
Al
Ibarat (Ibarat)
-
Al
Qiyas (Analogi)
-
Al
Burhan (Argumentasi)
-
Al
Mawadi Al Jadaliyah (The Topics)
-
Al
Hikmatu Mumawahan (Sofistika)
-
Al
Hithobah (Ilmu Pidato)
3.
Filsafat
Al-Farabi
Definisi ilmu filsafat menurut Al-Farabi ialah Al
Ilmu Bil Maujidaat Bima Hia Al Maujudaat. Ilmu yang menyelidiki hakikat
sebenarnya dari segala yang ada ini.[8]
Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Ia
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles,
meskipun berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya bersatu dalam tujuannya.
Dilihat dari keseluruhannya, filsafat Al-Farabi lebih
condong kepada filsafat plato dari pada filsafat aristoteles. Al-Farabi
sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah “baru” dan terjadi dari tidak ada
(sama dengan Al-Kindi). Pendapat Al-Farabi ini, sebagai pendapat seorang yang
beragama Islam, sebab alam idea Plato mirip dengan pengertian alam akhirat
dalam dunia Islam.
Dalam soal terjadinya alam dan bagai mana hubungan
khalik dengan makhluk, Al-Farabi seperti juga Al-Kindi, menyetujui teori
emanasi Neo Platonisme, lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan
istilah Nadhariyatul Faidl dengan pemikiran dan uraiannya sendiri.
Mula pertama Al-Farabi menerima prinsip Aristotelisme
yang mengatakan bahwa Tuhan itu ialah akal yang berpikir. Al-Farabi
menamakannya akal muni. Prinsip Aristoteles itu lalu diisi oleh Al-Farabi
dengan teori emanasi Neo Platonisme dari Plotinus. Pendapat Al-Farabi mengenai
akal murni itu esa adanya, dengan arti bahwa akal itu berisi satu pikiran saja,
yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri jadi Tuhan itu adalah akal yang aqil
(berpikir) dan ma’qul (dipikirkan), dengan ta’aqul ini Tuhan
dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan timbullah suatu wujud
baru atau akal baru yang disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Aqlul
Awwal (akal yang pertama). Akal pertama ini lalu berta’aqul pula,
memikirkan akal Tuhan dan memikirkan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul
Tuhan melipah al-aqluts tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al-falakul
aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam
makhluk.
Seterusnya akal ke dua menimbulkan pula al-aqluts
tsalis (akal ke tiga) bersama timbulnya karatul kawakibits tsabitah
(langit bintang-bintang tetap). Dari akal ketiga melimpah pula al-aqlur
rabi’ (akal ke empat) disertai timbulnya langit bintang zuhal
(Saturnus). Kemudian melimpah al-aqlul khamis (akal ke lima ) bersama timbulnya langit bintang musytari
(Jupiter). Lalu melimpah al-aqlus sadis (akal ke enam) bersama langit bintang mirrih
(Mars). Selanjutnya al-aqlus sabi’ (akal ke tujuh) bersama langit matahari, al-aqluts
tsamin (akal ke delapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus),
al-aqlut tasi’ (akal ke sembilan) bersama langit bintang ‘utharid
(Merkurius), akhirnya al-aqlul asyir bersama-sama dengan langit bulan. Adapun al
alalul asyri (akal ke sepuluh) ini dinamakan al-aqlul fa’al (akal
yang aktif bekerja), orang Barat menyebut active intellect.[9]
Sampai di sini berhentilah pelimpahan barang-barang
halus dan tinggi. Dan semua pokok tadi sudah meliputi Bumi. Bumi berada di
tengah-tengahnya dan tetap tidak berubah. Persoalan yang muncul adalah
bagaimana hubungan al-aqlul fa’al dengan tsumi ini berserta
isinya, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan? Mengenai hal ini Al-Farabi kembali
lagi kepada teori Aristoteles. Seperti Aristoteles, Al-Farabi membedakan materi
(zat) dan bentuk (shurah), bahwa materi merupakan kemungkinan
belaka. Namun bentuk dapat menentukan kemungkinan tersebut. Sebagai contoh,
kaya sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi, lemari,
meja, dan sebagainya. Kemungkinan barang tersebut dapat terlaksana menjadi
realitas apabila dibentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, dan lain sebagainya.
Demikian pula kemungkinan bumi dengan segala isinya,
kalau susunan bumi dengan isinya yang menurut teori Al-Farabi kata bahasa
secara terbaik dari bawah ke atas, maka ujud yang terbawah/terendah itu ialah
materi yang abstrak, yang belum punya bentuk, yang dinamakan Al-Maddatul Ula
la Musytarakah yaitu materi pertama yang belum punya bentuk. Tingkat yang
lebih tinggi dari itu ialah tatkala materi itu menerima bentuk yang pertama
berupa unsur-unsur yang empat, yakni air, tanah, api, dan udara. Tingkat yang
lebih tinggi lagi dari bentuk unsur-unsur itu ialah bentuk wujud mineral
seperti emas, perak, besi, tembaga, dan sebagainya. Yang lebih tinggi lagi
ialah wujud tumbuh-tumbuhan. Untuk pertama kali yang mengaktualkan wujud
tumbuh-tumbuhan ini ialah “jiwa” dalam wujudnya yang paling rendah, yaitu “jiwa
vegetatif”, jiwa yang berdaya tumbuh. Kemudian lebih tinggi lagi ialah bentuk
wujud hewan yang aktualkan oleh “jiwa sensitif”, yaitu jiwa yang berdaya
indera. Akhirnya sampailah kepada tingkat yang lebih tinggi lagi yang bisa
berantai dengan al-aqlul fa’al, yaitu bentuk manusia. Bentuk yang
mengaktualkan manusia ialah “jiwa” yang mempunyai daya berpikir aktual (al-aqlu
bil fi’li), di samping mempunyai daya menanggap (al-quwatul mutahajjilah).
Al-aqlu bil fi’li adalah akal kenyataan, tetapi sebelum itu manusia belihat
lebih dalam masa akal kemungkinan (al-aqlu bil quwwah), yaitu masa bayi,
ketika masa berpikir itu masih merupakan kemungkinan saja, belum dilaksanakan.
Akal kemungkinan itu menjadi akal kenyataan setelah menerima pengetahuan dari al-aqlul
fa’al (akal aktif). Akal aktif inilah yang mengilhamkan segala ma’qulat
kepada akal kemungkian sehingga akal ini menjadi suatu akal kenyataan/al-aqlu
bil fi’li.
Dengan itu, menurut teori filsafat Al-Farabi, bertautlah
hubungan Al-Khalik dengan alam makhluk. Akhirnya, untuk menyesuaikan wujud
dalam kepercayaan Islam, dikatakan oleh Al-Farabi bahwa alam malaikat itu
adalah alam uqulul mufaridoh, yaitu akal dari bintang-bintang itu,
sedangkan malaikat Jibril ialah al-aqlul fa’al.[10]
Al-Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa,
bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi
pandangan filsafat dan buahnya. Ilmu kalam dan ilmu akal diharapkan dapat
membawa manusia kearah pandangan hal benar. Hal itu dapat dicapai dengan cara
setingkat demi setingkat dengan ilmu Pasti dan ilmu Mantiq. Dasar filsafatnya
adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan
Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat adalah ilmu
satu-satunya yang dapat menghamparkan di depat kita dengan gambaran yang
lengkap mengenai cakrawala dengan cosmosnya (kaum)
4.
Filsafat
Politik Al-Farabi
Dalam pemikiran Al-Farabi, politik menduduki tempat
yang terpenting karena semua bagian falsafahnya mempunyai tujuan politik.
Namun, politik bukanlah tujuan dirinya, tapi sebagai sarana untuk memperoleh
tujuan terakhir bagi manusia, yakni kebahagiaan.[11]
Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan/tindakan dan cara hidup yang
dijalankan. Lebih lanjut Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki
(sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi
sesudah kehidupan sekarang yaitu kahirat. Namun, sekarang ada juga kebahagiaan
yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat
nampak dan dijadikan pedoman hidup.
Kebahagiaan sejati senantiasa dengan suatu
tindakan-tindakan yang mulia, kebajikan-kebajikan dan keutamaan-keutamaan.
Untuk menuju ke arah itu maka melalui kepemimpinan yang tegak dan benar. Kepemimpinan
tumbuh dari keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia
dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang balak memelihara
sebagai kemantapan. Keahlian dapat disebut pemerintahan dan raja. Adapun
politik adalah bentuk operasional dari keahlian tersebut.
a.
Pemerintahan
atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan yang sederhana, cara hidup,
disposisi positif. Dasar ini dapat dijadikan upaya untuk memperoleh
kebahagiaan.
b.
Pemerintahan
atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan dan watak dalam langka mencapai
sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan.
Sedangkan dipandang dari kemampuan suatu pemerintahan,
ilmu politik terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Kemampuan
dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat universal
b.
Kemampuan
yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktivitas politik, dengan harapan
bisa menjadi kebijaksanaan.[12]
5.
Filsafat
Metafisika Al-Farabi
Persoalan-persoalan filsafat telah dibahas oleh filusuf
sebelumnya, baik dari Yunani ,
Persia atau
yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan.
Al-Farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari
pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Di antara persoalan itu
adalah esa dan terbilang.
Adapun masalah Ketuhanan Al-Farabi menggunakan
pemikiran Aristoteles dan Neo Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal
sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan
dengan keesaan dalam ajaran Islam. Dalam pembuktiaan adanya Tuhan, Al-Farabi
mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya
segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.
Wajib al-wujud adalah
wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi, dan wujudnya
adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna sebelumnya dan tidak
didahului oleh tiada jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan,
karena wujud lain untuk adanya tergantung kepada-Nya. Inilah yang disebut
dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama antara
berwujud dan tidaknya. Mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud
tual tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya
tetapi wajib al-wujud.[13]
Tentang sifat Tuhan Al-Farabi sejalan dengan paham
mu’tazilah yakni sifat Tuhan tidak berbeda dengan subtansi-Nya. Orang boleh
saja menyebut Asmaul al-Husna sebanyak yang diketahui, tetapi nama
tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat Tuhan/sifat yang
berbeda dari Dzat-Nya. Bagi Al-Farabi, Tuhan adalah “Aql Murni”. Ia esa
adanya dan yang menjadi obyek demikian-Nya hanya substansi-Nya saja. Jadi Tuhan
adalah Aql, Aqil, dan Ma’qul (akal, substansi yang
berpikir, dan subtansi yang dipikirkan). Demikian pula Tuhan itu Maha Tahu. Dia
tidak membutuhkan sesuatu di luar Dzat-Nya untuk Tuhan dan juga memberi tahukan
untuk diketahui-Nya, cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi Tuhan adalah ilmu,
substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (‘ilm, ‘alim,
dan ma’lum).
Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh
oleh Aristoteles yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan
alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan
tidak mengetahui yang juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengetahuan
Tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘Aql
hanya dapat menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk mengetahui
yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan panca indera. Karena itu
pengetahuannya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan ia sebagai
sebab bagi yang juz’i.
Sebagaimana para filsuf muslim para umumnya, Al-Farabi
juga mengemukakan ayat-ayat al-Qur'an dalam rangka mensucikan Tuhan dari
sifat-sifat, di antaranya:
سُبْحَانَ
رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ (الصفات: 180)
“Maha suci Tuhanmu yang
mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan” QS. Al-Shaffat [37]:
180)
Tentang penciptaan alam, Al-Farabi menggunakan teori
Neo Platonisme Monistik tentang emanasi. Bagi Al-Farabi, Tuhan menciptakan
sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan alam
semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim. Sedangkan
susunan materi yang menjadi alam adalah baru.
Adapun proses terjadinya yang banyak dari yang satu,
Al-Farabi berpegang pada asas-asas yang berasal dari yang satu pasti yaitu juga
(ia yafidu an al-wahid illa wahidun). Menurut asas itu Allah Yang Maha
Esa mustahil dapat melimpahkan secara langsung beraneka macam hasil emanasi,
apalagi menciptakan aneka warna ciptaan. Lebih-lebih alam semesta merupakan
satu kesatuan yang bertingkat-tingkat.[14]
6.
Filsafat
Kenabian Al-Farabi
Agama Islam adalah agama wahyu dan semua ajarannya
yang dibawa oleh Nabi bersumber dari wahyu, bukan darinya. “Dan ia tidak
berbicara berdasarkan keinginannya, tapi dari wahyu yang telah diwahyukan
kepadanya, diajarnya oleh Jibril” (QS. An-Najm: 3-7). Dari itu, setiap
filosof Islam harus memperhatikan hal ini dan berupaya untuk menyelaraskan
pemikirannya dengan ajaran Islam yang berdasarkan wahyu.
Al-Farabi adalah filosof Islam pertama yang mengkaji
masalah Kenabian (nubuwwah) dan telah berhasil membuat teori pemaduan
antara agama dengan falsafah, dan yang merupakan bagian terpenting dalam
madzhabnya.
Dalam pemikiran Al-Farabi, filosof, kepala negara,
raja, pembuat undang-undang dan imam adalah sama pengertiannya. Agar seseorang
dapat mencapai martabat ini disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat “akal
mustafad”, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal aktif (‘aql fa’al)
yakni akal ke sepuluh yang juga disebut jibril. Lewat akal ini, Allah
menyampaikan wahyu-Nya kepada orang tersebut. Artinya, akal aktif meneruskan
wahyu itu kepada akal pasif (‘aql munfa’il) melalui akal mustafad dan
selanjutnya kepada dengan khayal (quwwah mutakhayyilah). Wahyu yang
melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut failasuf sedangkan
yang melimpah kepada daya khayal ia disebut Nabi.
Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat layak
menjadi kepala negara utama karena keduanya telah mampu berhubungan dengan akal
aktif yang merupakan sumber hukum dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan
masyarakat. Namun demikian, filosof tidak sejajar tingkatannya dengan Nabi
karena setiap Nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof itu Nabi. Setiap
Nabi memiliki keistimewaan yang melebihi filosof.[15]
7.
Filsafat
Kenegaraan Al-Farabi
Manusia adalah makhluk sosial yang berhajat kepada
masyarakat untuk kerja sama dalam lapangan pengkidupan, mereka tidak dapat
mencapai kemakmuran dan ketentraman melainkan dengan adanya suyatu
pemerintahan. Uncuk mencapai hal itu Al-Farabi menulis sebuah buku yang
diberina nama Ara’u Ahli Al-Madinah Al-Fadhilah. Dalam soal filsafat ini
Al-Farabi umumnya sesuai dengan filsafat Plato.
Dalam buku tersebut Al-Farabi memperbandingkan antara
penduduk negara yang utama itu dengan tubuh manusia, di mana antara satu sama
lain terdapat hubungan erat dan bekerja menurut fungsinya masing-masing demi
untuk mencapai kesejahteraan bersama yaitu seluruh tubuh. Jadi untuk mencapai kemakmuran
bersama perlu adanya kerja yang teratur sesuai kesanggupan masing-masing.
Untuk mengurus negara yang utama itu diperlukan
seorang pemimpin yang cakap, sempurna moral, intelektual, berani mengambil
keputusan yang tepat, tidak tamak dengan harta dan mendapat limpahan ilmu dari
Tuhan.
Pemimpin negara yang sanggup memenuhi persyaratan dan
tugas-tugas di ataslah yang dapat menjadikan negaranya menjadi negara utama.
Sebaliknya apabila negara dipimpin oleh orang yang tidak mencukupi persyaratan
di atas jadilah negara itu menjadi negara tidak sempurna.[16]
8.
Pola
Pikir Tasawuf Al-Farabi
Al-Farabi sebagai seorang filosuf telah menghimpun
berbagai konsepsi di mana sendiri-sendirinya menjadi suatu mata rantai yang
saling berkaitan. Dalam hal ini kita bisa melihat teori sufi yang merupakan
bagian dari pandangan filosofis Al-Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah
ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan
teor-teori Al-Farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik.
Sebagai ciri khas dari teori tasawuf yang dikatakan
Al-Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al-Farabi bukanlah tasawuf
spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan
menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju
derajat-derajat ksempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berdasarkan
pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila
hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara
esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan
demikian meski sudah memiliki keutamaan alamiyah jasmaniah, tetapi harus ada
keutamaan-keutamaan rasional teoritis. Apabila perbuatan yang pertama merupakan
kebaikan, maka perbuatan yang kedua sebagai raja kebaikan. Karena akal manusia
dalam merombak jalan peningkatan dan perkembangannya melampaui fase-fase yang
satu dengan yang lain saling menopang.
Faktor internal yang mempengaruhi tasawuf Al-Farabi
yakni dari fitrah di mana ia tumbuh dan berkembang memungkinkan kecenderungan
terhadap tasawuf. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tasawufnya yakni
di masanya telah banyak tersebar pikiran-pikiran tasawuf yang berasal di India , Persia , Yuani, dan sebagainya. Di
samping itu ia juga bergaul dengan tokoh-tokoh tasawuf besar seperti Al-Junaid
terkenal dengan teori Ittihad (kesatuan manusia dengan Tuhan). Al-Hallaj
murid Al-Junaid yang terkenal dengan teori Hulul (bertempatnya Tuhan
pada manusia, inkarnasi), di mana aku (manusia) dan Engkau (Tuhan) dapat
bersatu sepenuhnya).
Kebahagiaan menurut Al-Farabi adalah jika jiwa manusia
menjadi sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan dalam
eksistensinya kepada suatu materi. Hal itu dengan cara ia harus berada di dalam
globalisasi esensi yang terpisah dengan materi ia harus abadi dalam kondisi
itu, hanya saja tingkatannya berada di bawah akal fa’al. tetapi ia bisa
mencapai hal itu melalui tindakan-tindakan kehendak yang terdiri atas tindakan
psikis dan tindaan fisik. Ia tidak cocok dengan tindakan apapun, tetapi dengan
tindakan-tindakan terbatas dan tertentu yang benar-benar terbatas. Hal itu
dikarenakan di antara tindakan kehendak it ada tindakan yang bisa menghambat
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kebahagiaan yang dicari karena dirinya sendiri,
sama sekali tidak dicari kapan pun juga untuk dipergunakan dalam meraih sesuatu
yang lain yang mungkin diraih oleh manusia. Tindakan-tindakan yang berguna di
dalam mencapai kebahagiaan adalah tindakan baik, keadaan dan bakat yang
menimbulkan tindakan-tindakan ini, yaitu keutamaan-keutamaan.
Keutamaan-keutamaan ini bukan bukan kebaikan karena dirinya sendiri, tetapi
karena hal-hal yang ditarik dari suatu kebahagiaan. Dan perbuatan-perbuatan
yang menghalangi kebahagiaan ini adalah kejelekan dan perbuatan jelek, sementara
berbagai kondisi dan bakat yang menimbulkan perbuatan-perbuatan ini adalah
segala kekurangan, kerendahan, dan kehinaan.[17]
9.
Logika
Sebagian besar karya Al-Farabi dipusatkan kepada studi
tentang logika. Tetapi al ini hanya terbatas pada penulisan kerangka organ
dalam versi yang dikenal oleh para sarjana Arab pada saat itu. Al-Farabi
menyatakan bahwa seni logika umumnya memberikan yang besar dan mengarahkan
manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari
kesalahan-kesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah
dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata dan ilmu
Matra dengan sya’ir. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika dengan
menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana
dimensi, volume, dan massa
ditentukan oleh ukuran.
Logika dapat membantuk kita untuk membedakan yang
benar dan yang salah dan memperoleh cara yang benar dalam berpikir atau dalam
menunjukkan orang lain kepada cara ini. Al-Farabi juga menunjukkan dari mana
kita mulai berpikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada
kesimpulan-kesimpulan akhir. Dalam berpidato dan berdialog, atau dalam Geometri
dan ilmu Hitung, logika tak pernah dapat dikesampingkan, sebagaimana dalam
mempelajari sejumpah puisi atau pidato, orang tak dapat mengesampingkan tata
bahasa. Seni logika menurut pendapat umum bukanlah sekedar hiasan tak berhuna,
karena ia tak dapat digantikan dengan kemampuan ilmiah.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Perkembangan
Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta :
Bumi Aksara, 1991.
Bakar Aceh, Abu, Sejarah
Filsafat Islam, Jakarta :
CV. Ramadhani, 1991.
Daudy, Ahmad, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1986.
Mustofa, H.A, Filsfat
Islam, Bandung :
Pustaka Setia, 1997.
Nasution, Hasyimsyah, M.A, Filsafat
Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Poerwantana, A. Ahmadi, M.A,
Rosali, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1994.
[1] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 39
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), 32
[3] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1986), 25
[4] Ibid, 26
[5] Aboe Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta : CV. Ramadhani, 1991), 48
[6] Ibid, 48
[7] Mustofa, Filsfat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
127-128
[8] Poerwantana, A. Ahmadi, Rosali, Seluk-Beluk Filsafat Islam,
(Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya, 1994), 135
[9] Mustofa, Filsafat..........., 129
[10] Poerwantana Ahmadi, Seluk Beluk Filsafat Islam……,
[11] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam……, 49
[12] A. Mustafa, Filsafat ……, 132
[13] Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam……., 36
[14] Ibid, 37
[15] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat ……, 55
[16] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam,
51-52
[17] Mustofa, Filsafat……, 147-153
[18] Ibid, 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar