BAB
I
PENDAHULUAN
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال
: لعن رسول الله الراشى والمرتشى فى الحكم (رواه احمد والاربعة وحسنه الترمذى
وصححه ابن حبان)
Artinya: “Abu
Hurairah berkata Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam
urusan hukum.” (H.R. Ahmad dan Imam yang Empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Di zaman
sekarang, banyak sekali kasus yang berhubungan dengan korupsi dan suap-menyuap
di kalangan para pejabat. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat karena
imbasnya kembali kepada mereka. Padahal hal itu yang sangat dilarang dalam
Agama. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kesadaran dari masing-masing
individu akan dampak buruk dari perilaku tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengetian Korupsi
Korupsi
adalah perbuatan mengambil uang Negara atau memanfaatkan uang Negara yang bukan
haknya untuk kepentingan sendiri secara diam-diam. Koruptor adalah pencuri yang
mengambil uang atau harta negara, perusahaan atau milik orang banyak dengan
cara melawan hukum yang dengan tindakan itu negara dirugikan keuangannya atau
merugikan perekonomian negara. Banyak kasus korupsi, apalagi kelas kakap yang
sukar dituntut oleh jaksa atau lolos dari hukuman majelis hakim karena kepiawainya
pengacara atau sindikat yang berada bersama tersangka atau terdakwa.[1]
Menyuap
dalam masalah hukum Islam adalah memberikan sesuatu baik berupa uang atau
lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum dan mendapat keringanan.
Perbuatan sepeti inilah yang sangat dilarang dalam Islam sebagai perbuatan
haram dan merugikan orang lain, sedangkan harta yang diterima dari hasil suap
dan korupsi tergolong harta yang diperoleh dengan jalan batil. Allah SWT
berfirman:
ولا تاء كلوا اموالكم بينكم بالباطل
وتد لوا بها الى الحكام لتاء كلوا فريقا من اموال الناس وانتم تعلمون بالاسم (البقرة
:188)
Artinya: "Dan janganlah sebagian kamu memakam
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, (janganlah kamu)
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu
mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah: 188)
Rasulullah SAW
bersabda, ”Penggelapan [harta umat dan negara] adalah perkara besar dan
berakibat besar. Maka, nanti di hari kiamat, jangan sampai saya melihat kalian
datang sambil memikul unta yang melenguh-lenguh dan berkata, ‘Tolong saya,
wahai Rasulullah!’ Saya jawab, ‘Saya tidak bisa menolongmu sedikit pun’.”
Hal senada disampaikan Rasul terhadap
mereka yang memikul kuda, kambing, kain, atau emas dan perak yang pernah digelapkan
di dunia. (Shahih Muslim)
عن عبد الله بن عمرو : لعن رسول الله صلى الله
عليه و سلم الرا شى والمرتشى (رواه الترمذى)
Nabi SAW juga bersabda, ”Laknat Allah terhadap
penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Sementara itu, Tsauban bin Yuhdad, mantan budak yang
dimerdekakan Nabi, menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima
suap, dan mereka yang menyaksikannya. (HR Ahmad, Thabraani, Al Bazzar dan Al
Hakim).
Tragis betul nasib para koruptor,
juga semua pelaku penyuapan, baik yang mengatur dan merencanakan, mengusulkan,
memfasilitasi, melindungi, memberi langsung; penerima langsung maupun lewat
perantara; pelaku kolusi; pemberi hadiah kepada penguasa agar berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya; makelar korupsi dan kolusi, serta segala
tindakan yang sejenis dengannya. Sudah tak ditolong di akhirat, mereka pun
dilaknat Allah dan Rasulullah SAW. Padahal, satu-satunya manusia yang berani
menghadap Allah di hari kiamat, dan mengajukan syafaat agar manusia terhindar
dari neraka adalah Nabi Muhammad SAW. Namun, terhadap koruptor, beliau menolak.
Adapun laknat Allah adalah tiket masuk neraka. Laknat-Nya adalah perkara besar
karena itu berarti menyerupakan laksana iblis dan setan Bukankah kita dianjurkan ber-ta’wwudz,
termasuk memulai membaca Alquran, agar Allah melindungi kita dari setan yang
terkutuk?!. Allah juga melaknat orang murtad dan munafik, yang kembali kafir
sesudah mengaku beriman, lalu, para pembunuh. Laknat juga isyarat azab abadi di
neraka Mungkin saja karena ada iman seberat dzarrah, maka para koruptor
dan pelaku penyuapan akhirnya dibebaskan dari neraka. Namun, andaikan seorang
koruptor mendapat azab teringan dan itu hanya sesaat, maka sabda Rasul, ”Azab
teringan di neraka adalah orang yang memakai sepatu di mana talinya dari api
neraka, maka dengan itu mendidihlah otak di kepalanya.” (HR Bukhari, Muslim,
dan Tirmidzi). Ketika korupsi, suap menyuap, dan sejenisnya merajalela,
maka itu tanda kehancuran.
Adapun menurut Imam Asy-Syaukani[2].
Sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakshis. Namun
demikian ,dalam Islam ada kaidah:
الضرورة تبيح المحضورات
(Kemadlorotan
membolehkan sesuatu yang membahayakan.)
Dengan demikian jika tidak ada jalan
lain bagi sesorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan
melakukan suap, ia boleh melakukannya. Namun pada dasarnya agama tidak
membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang kecuali dengan hati
yang tulus.
Laranagan bagi pejabat untuk
menerima hadiah
Dalam Islam hadiah
adalah sebagai salah satu cara untuk merekatkan persaudaraan dan persahabatan
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab muwatto’
dari al-khurasan.
تصافح يذهب الغلّ و تهاد وا
تحا بوا وتذهب الشحناء (رواه الامام ما لك)
Artinya; Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan
kedengkian, saling memberi hadiahlah kamu semua niscaya akan saling mencintai
dan menghilangkan percekcokan (HR. Imam Malik).
تهادوا فاءنّ الهديّة تذهب حرّ
الصّدر (رواه ألترمذى)
Saling memberi hadiahlah kamu
semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan.
Ancaman bagi orang yang
melakukan Korupsi dan Suap.
Sebagaimana hadits sebagai
berikut:
ما من عبد استرعاه الله رعيّة
فلم يحطها بنصيحة الاّ لم يجد رائحة الجنّة
Siapa yang diamanati Allah
untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik,
maka ia tidak akan dapat merasakan bau sorga. (Bukhori. Muslim). Yakni bila
tidak merasakan bau sorga maka pasti masuk neraka.[3]
Ini bukti amanah tidak dipegang lagi,
serta urusan pemerintahan dan umat diserahkan kepada yang bukan ahlinya. Jika
itu terjadi, ”Maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari).
Karena hanya dosa syirik yang tak terampuni (QS 4:48 ), maka bertobatlah sebelum
Izrail datang menyapa, kembalikan harta umat dan negara, serta perbaiki diri
dengan amal-amal baik di sisa usia.
Banyak kasus korupsi, apalagi kelas
kakap yang sukar dituntut oleh jaksa atau lolos dari hukuman majelis hakim
karena piawainya pengacara atau sindikat yang berada bersama tersangka atau
terdakwa. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kasus Usamah di atas, jaksa
dan atau hakim harus berani melakukan terobosan untuk memeriksa pengacara,
dokter atau para pendukung, setidaknya sebagai saksi agar seorang koruptor
tidak bebas hanya karena kelincahan pengacaranya, bukan karena
tersangka/terdakwa. Memang disinilah, kasus yang paling mencolok adalah
terdakwa mantan Presiden Soeharto. Pengadilannya dihentikan karena menurut tim
dokter, Soeharto mengalami gangguan otak permanen. Anehnya, dalam Pemilu 2004
televisi menayangkan bagaimana Soeharto ikut mencoblos di TPS. Bukankah orang
yang mengalami gangguan otak tidak bisa berpikir secara normal untuk menentukan
suatu pilihan yang terbaik menurut dirinya sendiri?!. Seharusnya jaksa dan
hakim memeriksa tim dokter Soeharto, minimal sebagai saksi, apakah Soeharto
betul-betul sakit atau sekadar sakit politik. Terobosan hukum yang diajukan ini
tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan profesi dokter dan pengacara tetapi
sebagai peringatan agar pengacara berhati-hati dalam menerima perkara.
Keadilan hukum.
Sudah menjadi slogan, pencuri ayam
dipenjara, koruptor bebas keluyuran. Tetapi hadits di atas menegaskan bahwa
semua manusia sama di depan hukum. Inilah keadilan hukum yang harus ditegakkan
sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad dalam hadits tadi, ''Orang-orang sebelum
kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa
hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak
dengan hukuman”.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa pada dasarnya memberi hadiah kepada orang lain sangat baik dan
dianjurkan, untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi
yang diberi hadiah disunnahkan untuk menerimanya. Akan tatapi, Islam pun memberi
rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan yang
memberi dan yang menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan
menerima hadiah bagi seorang pejabat ataupun pemegang kekuasaan.
Hadiah yang diberikan kepada para
pejabat atau yang berwenang, kecil ataupun besar wewenangnya, apabila
sebelumnya tidak bisa diterima, dinilai sebagai sogokan terselubung atau suap.
Sedangkan tindakan korupsi ataupun menyuap adalah perbuatan yang dilarang dalam
agama Islam, bahkan sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Para
pelakunya pun dilaknat oleh Allah dan diancam tidak akan menerima syafaat dari Nabi
Muhammad kelak di hari kiamat, dan barangsiapa yang melanggar larangan Allah
dan Rasul-Nya, niscaya ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Namun demikian,
kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan
tidak ada kaitannya dengan jabatan, Islam tentu saja memperbolehkannya,
misalnya sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah
dari seseroang dan pemberian seperti itu tidak ada kaitan dengan jabatannya,
maka boleh diterima olehnya.
Wallahu a’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rachmat. Al-Hadits. Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Labib. Samudera Pilihan Hadits Shohih Bukhori. Surabaya : Anugerah, 1994.
Fu’ad Abdul Baqi, Muhammad. 2003. Al-Lu’lu’ wal Marjan.
Terjemahan oleh
H. Salim Bahreisy. Surabaya : PT. Bina Ilmu,
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar