Senin, 04 Februari 2013

Islam Di Persia


BAB I PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Kedatangan Islam di daratan Arab membawa pengaruh positif terhadap perkembangan peradaban bangsa Arab yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang terbelakang, bodoh,  tidak dikenal dan selalu diabaikan oleh bangsa-bangsa lainnya, menjelma menjadi bangsa yang maju sehingga mampu membina satu kebudayaan dan peradaban yang mempunyai arti penting dalam sejarah manusia hingga saat ini. Hal ini tampaknya sangat dimengerti mengingat ajaran Islam telah diwahyukan pada orang yang tepat, yakni Muhammad bin Abdullah yang merupakan salah seorang cucu dari pemuka Quraisy bernama Abdul Muthalib.
Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan Muhammad berjalan mulus tanpa halangan dan rintangan. Sejarah mencatat, sebelum Islam berkembang menjadi sebuah peradaban yang maju seperti saat sekarang ini, banyak rintangan yang telah berhasil dilalui dengan baik oleh Muhammad pada awal perkembangan Islam. Baik rintangan itu datang dari kerabat atau family maupun dari suku atau kabilah lain yang merasa terusik dengan kedatangan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad.
Dalam perkembangannya, Islam mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat dataran Arab dan mayarakat di negara-negara sekitarnya mulai Persia hingga Andalusia (Spanyol). Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam berskala besar seperti dinasti Umayyah II di Andalusia dan kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan terakhir ini cukup menarik disimak mengingat pada awal perkembangan Islam, negara Persia termasuk ke dalam negara yang menolak kehadiran Islam bersama dengan negara Romawi.
Masuknya peradaban Islam di Persia dimulai sejak pecahnya kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad. Seorang sejarawan dari India bernama Jurji Zaidan mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul History of Islamic Civilization, bahwa sejak kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad melemah, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil berbangsa Persia seperti:
v  Thahiriyyah di Khurasan        (205-259 H/820-872 M)
v  Shafariyah di Fars                  (254-290 H/868-901 M)
v  Samaniyah di Transoxania     (261-389 H/873-998 M)
v  Sajiyyah di Azerbaijan           (266-318 H/878-930 M)
v  Buwaihiyyah di sebagian besar kota Baghdad (320-447 H/932-1055 M)[1]

B.     Rumusan Masalah

Dalam pembahasan perkembangan peradaban Islam di Persia ini yang akan menjadi rumusan masalahnya adalah:
1.      Sejak kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai?
2.      Bagaimana proses perkembangan peradaban Islam di Persia?
3.      Metode apa yang digunakan dalam perkembangan peradaban Islam di Persia?
4.      Kenapa perkembangan peradaban Islam di Persia bisa terjadi?
5.      Sejauhmana perkembangan peradaban Islam di Persia?



BAB II

POKOK PEMBAHASAN



A.    Awal Peradaban Islam di Persia

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[2] Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail. Ia berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil  inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[3]

B.     Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[4]
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[5]
Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.

C.    Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[6] Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian. 
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.  

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berbicara peradaban Islam di Persia sama dengan bicara kerajaan Safawi. Selain disebabkan oleh hadirnya kerajaan Safawi sebagai satu-satunya kerajaan besar yang berbasis ke-Islaman di Persia, statemen ini juga didukung oleh fakta bahwa pada zaman kerajaan Safawi inilah kota Isfahan menjelma menjadi salah satu pusat peradaban Islam di dunia kala itu. Meskipun sebelumnya peradaban Islam pernah ada di Persia saat kerajaan ini belum lahir, namun peradaban Islam di Persia kala itu tidak sehebat peradaban Islam waktu zaman kejayaan dinasti Safawi.[7]
Sedangkan orang yang paling berjasa menjadikan kota Isfahan sebagai pusat peradaban Islam di Persia adalah raja Abbas I yang merupakan raja kelima dari dinasti Safawi. Ia berkuasa selama hampir 40 tahun, mulai tahun 1588-1628 M. Selama masa pemerintahannya inilah kota Isfahan berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad. Peninggalan yang paling monumental dari kerajaan Safawi pada saat raja Abbas ini berkuasa adalah masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M dan hingga saat ini masih menjadi salah satu masjid terindah di dunia.[8]


DAFTAR PUSTAKA



Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.

Santanawi, Ahmad dkk, (Ed.) Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, (tanpa tahun).

Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Keenam belas, 2004.

Zaidan, Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.



[1] Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978, hlm. 240.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.
[3] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[4] Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.
[5] Ibid., hlm. 259.
[6] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
[7] Badri Yatim, op. cit., hlm. 286.
[8] Ibid., hlm. 144-145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar