BAB I PENDAHULUAN
Kedatangan
Islam di daratan Arab membawa pengaruh positif terhadap perkembangan peradaban
bangsa Arab yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang terbelakang,
bodoh, tidak dikenal dan selalu
diabaikan oleh bangsa-bangsa lainnya, menjelma menjadi bangsa yang maju
sehingga mampu membina satu kebudayaan dan peradaban yang mempunyai arti
penting dalam sejarah manusia hingga saat ini. Hal ini tampaknya sangat
dimengerti mengingat ajaran Islam telah diwahyukan pada orang yang tepat, yakni
Muhammad bin Abdullah yang merupakan salah seorang cucu dari pemuka Quraisy
bernama Abdul Muthalib.
Meskipun
demikian, bukan berarti perjuangan Muhammad berjalan mulus tanpa halangan dan
rintangan. Sejarah mencatat, sebelum Islam berkembang menjadi sebuah peradaban
yang maju seperti saat sekarang ini, banyak rintangan yang telah berhasil
dilalui dengan baik oleh Muhammad pada awal perkembangan Islam. Baik rintangan
itu datang dari kerabat atau family maupun dari suku atau kabilah lain yang merasa
terusik dengan kedatangan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad.
Dalam
perkembangannya, Islam mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat dataran
Arab dan mayarakat di negara-negara sekitarnya mulai Persia hingga Andalusia
(Spanyol). Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam berskala
besar seperti dinasti Umayyah II di Andalusia dan kerajaan Safawi di Persia.
Kerajaan terakhir ini cukup menarik disimak mengingat pada awal perkembangan
Islam, negara Persia termasuk ke dalam negara yang menolak kehadiran Islam
bersama dengan negara Romawi.
Masuknya
peradaban Islam di Persia dimulai sejak pecahnya kekhalifahan Abbasyiah di
Baghdad. Seorang sejarawan dari India bernama Jurji Zaidan mengungkapkan dalam
bukunya yang berjudul History of Islamic Civilization, bahwa
sejak kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad melemah, banyak berdiri
kerajaan-kerajaan kecil berbangsa Persia seperti:
v
Thahiriyyah
di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
v
Shafariyah
di Fars (254-290
H/868-901 M)
v
Samaniyah
di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
v
Sajiyyah
di Azerbaijan (266-318 H/878-930
M)
v
Buwaihiyyah
di sebagian besar kota Baghdad (320-447 H/932-1055 M)[1]
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan perkembangan
peradaban Islam di Persia ini yang akan menjadi rumusan masalahnya adalah:
1.
Sejak
kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai?
2.
Bagaimana
proses perkembangan peradaban Islam di Persia?
3.
Metode apa
yang digunakan dalam perkembangan peradaban Islam di Persia?
4.
Kenapa
perkembangan peradaban Islam di Persia bisa terjadi?
5.
Sejauhmana
perkembangan peradaban Islam di Persia?
BAB II
POKOK PEMBAHASAN
A. Awal Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia
sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian,
perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya,
perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi
yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[2]
Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.
Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail. Ia berkuasa kurang lebih selama
23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.
Kerajaan
Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang
berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan
bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa
perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi
gerakan politik.
Sebagai
pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan
keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah
ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia
mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf
Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl
al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini
berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia,
Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil
yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya
masing-masing.[3]
B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban
Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya
daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari
dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan
daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama
kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban
Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad
al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali
dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat
Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua
kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar
atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[4]
Terjadi
perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat
pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah
khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah
menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu
Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi
menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan
perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[5]
Dengan
demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan
berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua
kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan
peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.
C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana
diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama.
Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya.
Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan
peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[6]
Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan
raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban
Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang
politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan
di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di
bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat
perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum
dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan
oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil
menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju
di sektor pertanian.
Sedangkan
di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal
seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan
Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai
kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk
mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa
dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada
masa yang sama.
Pada
masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban
Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa
dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu
masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu
megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat
lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat,
di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian
umum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbicara
peradaban Islam di Persia sama dengan bicara kerajaan Safawi. Selain disebabkan
oleh hadirnya kerajaan Safawi sebagai satu-satunya kerajaan besar yang berbasis
ke-Islaman di Persia, statemen ini juga didukung oleh fakta bahwa pada zaman
kerajaan Safawi inilah kota Isfahan menjelma menjadi salah satu pusat peradaban
Islam di dunia kala itu. Meskipun sebelumnya peradaban Islam pernah ada di
Persia saat kerajaan ini belum lahir, namun peradaban Islam di Persia kala itu
tidak sehebat peradaban Islam waktu zaman kejayaan dinasti Safawi.[7]
Sedangkan
orang yang paling berjasa menjadikan kota Isfahan sebagai pusat peradaban Islam
di Persia adalah raja Abbas I yang merupakan raja kelima dari dinasti Safawi.
Ia berkuasa selama hampir 40 tahun, mulai tahun 1588-1628 M. Selama masa
pemerintahannya inilah kota Isfahan berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal
seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan
Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad. Peninggalan yang paling monumental dari
kerajaan Safawi pada saat raja Abbas ini berkuasa adalah masjid Syah yang
dibangun pada tahun 1611 M dan hingga saat ini masih menjadi salah satu masjid
terindah di dunia.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.
Santanawi, Ahmad dkk, (Ed.)
Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, (tanpa tahun).
Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. Keenam belas, 2004.
Zaidan, Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
[1] Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization, New
Delhi: Kitab Bhavan, 1978, hlm. 240.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.
[3] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[4] Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah,
Jilid II, hlm. 258-259.
[5] Ibid., hlm. 259.
[6] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam,
Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
[7] Badri Yatim, op. cit., hlm. 286.
[8] Ibid., hlm. 144-145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar