BAB I
SEJARAH SINGKAT AL KINDI
- Biografi Al Kindi
Al Kindi adalah filosof pertama dalam dunia filsafat
islam. Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol, hal ini terutama
karena dia adalah filosof muslim yang berusaha untuk menyelaraskan agama dan
filsafat.[1] Posisi
Al Kindi yang meyakini bahwa agama dan filsafrat atau nalar dan wahyu bias
diselaraskan kemudian terulang kembali dalam sejarah peradaban manusia beberapa
abad kemudian.
Nama lengkap al Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub Al Kindi.
Ia berasal dari suku Kindah dari negri yaman. Ayahnya bernama Ashaq bin
al-Shabah, yang pada masa pemerintahan Al Mahdi dan Harun al Rasyid pernah
menjabat sebagai gubernur Kuffah.[2] Nama Al
Kindi berasal dari satu suku arab yang besar sebelum Islam yaitu suku Kindah.
Kakeknya Asy’ats bib Qais, dikenal sebagai sahabat nabi SAW. Kota Kuffah
sebagai kota kelahirannya juga menjadi kota dimana dia pernah mengais ilmu tata
bahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung dan menghafal Al quran. Kota Kuffah yang
telah maju pesat perkembangan ilmu pengetahuannya merangsang Al Kindi untuik
mempelajari ilmu filsafat.[3]
Tak lama kemudian Ia berpindah ke Kota Baghdad, yang
kala itu menjadi ibukota kekholifahan Bani Abbas dan pusat keilmuan. Bakat
keilmuan Al Kindi semakin berkembang, karena disitulah Al Kindi mendapat
sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yaitu al Makmun, al Mu’tasyim dan al
Watsiq. Bentuk dukungan yang diberikan oleh ketiga kholifah itu pada Al Kindi
bias dibuktikan dengan diundangnya al Kindi oleh Kholifah al Makmun untuk
mengajar pada Bait al Hikmah dan pengasuh putera Kholifah al Mu’tashim yang
bernama Ahmad.[4]
B. Karya-karya Al Kindi
Beberapa karya Al Kindi antara lain sebagai berikut. :
1.
Fi
al-Falasifah al-Ula (Tempat Filsafat pertama) yang mendifinisikannya sebagai
pengetahuan Sang Mahatma DAN Maha Esa yang memberi jalan terbentangnya
kebenaran.
2.
Al Hadits
‘ala Ta’allum al-Falasifah. (Anjuran untuk belajar filsafat) risalah inji
tampaknya banyak terilhami dari rangkaian karangan kuno, seperti Protrepticus karya Aristotales serta Jamblichus dan Hortensius karya
Cicero.[5]
3.
fi al-Radd
‘ala al-Mananiah (Penolakan penganut manichaeisme) dan Masa’il al-Mithidin
(tentang pernyataan-pernyataan kaum Atheis) mencerminkan simpatinya yang
mendalam kepada Mu’tazillah.
4.
Maqalah fi
al-‘Aql (pembahasan tenmtang akal) dalam buku ini al Kindi mengembangkan tema
tentang intelek (‘aql). Sejak masa aristotales dan para komentar Yunani.
Al-Kindi membedakan empat bagian intelek, pertama, intelek yang selalu dalam
aksi. Kedua, intelek yang masih dalam bentuk potensi (intelek potensial).
Ketiga, intelek yang telah melewati keadaan potensial menuju keadaan actualnya,
dan yang keempat, intelek yang manifest yang berfungsi mengabstraksikan
bentuk-bentuk unifersal dari segenap benda meteriil.[6]
5.
Al-Hilal
li-Daf al-Ahzan (kiat menghindari kesedihan) dalam risalah ini al-Kindi
mendifinisikannya sebagi rasa sakit yang dialami seseorang setelah putus
harapan atau gagal meraih apa yang didambakan. Bagi al-Kindi, perenungan sesaat
akan menyadarkan seseorang bahwa di dunia yang fana ini tidak ada yang bias
mempertahankan kesenangan atau memperoleh semua yang didambakan.[7]
6.
Risalah fi
al-Ibanah an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qoribah li al-Kawn wa al-Fasad. (tentang
penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusajkannya)[8]
7.
Risalah
al-Hikmiyyah fi Asrar al-Ruhaniyah (kajian-kajian filosofis tentang
rahasia-rahasia spiritual)[9]
8.
Kitab fi
Ibarah al-Jawani al-Fikriyah (Tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide
komprehensif)
9.
Risalah fi
Ananahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan).[10]
Masih banyak lagi karya-karya al-Kindi dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan, tetapi terdapat perselisihan para ahli, khususnya
karya-karya asli yang berbentuk buku. Karya terjemahanya banyak berasal dari
buku-buku Yunani yang diterjem,ahkan kedalam bahasa arab.
BAB II
JEMBATAN ANTARA FILSAFAT
DAN AGAMA
- Hubungan Antara Filsafat dan Agama
Al Kindi mengarahkan Filsafat Islam kearah kesesuaian
antara agama dan Filsafat, filsafat berdasarkan akal dan agama berdasarkan
wahyu. Logika adalah metode filsafat, sedang iman merupakan logika dan
hakikat-hakikat jalan agama. Keselarasan antara agama dan filsafat didasarkan
pada tiga alasan, yaitu ; (1.) Bahwa ilmu agama merupakan bagian dari filsafat,
(2) Antara wahyu dean filsafat terdapat kesesuaian, (3) Menuntut ilmu secara
logika diperintah agama.[11]
Dalam risalah,
Al Kindi memberikan distingsi yang sangat tegas antara agam dan filsafat.
Bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa ilmu agama adalah
bagian dari filsafat, dalam risalah
Al Kindi menuliskan sejumlah perbedaan antara agama dan filsafat, yaitu :
1.
Bahwa kedudukan
teologi agama lebih tinggi disbanding filsafat.
2.
Ilmu agama
merupaka ilmu illahiah sedangkan filsafat ilmu insaniyah.
3.
Jalur agama
adalah keimanan sedangkan jalur filsafat adalah akal.[12]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikatsegala
sesuatu, dan ini mengandung teologi, ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu
pengetahuan yang bermanfaat. Al Kindi lebih lanjut mengatakan bahwa filsafat
dan agama tidak dapat bertentangan, oleh karena itu, filsafat dan agama
sama-sama membawa inovasi kebenaran. Menurut Al Kindi kebenaran yang dicari
oleh para filsof tidak berbeda dengan kebenarang yang disampaikan Nabi Muhammad
yang berkata benar serta diterimanya dari Allah.[13]
- Tentang Keesaan Tuhan
Al Kindi mngemukakan bahwa kebenaran adalah persesuaian
antara apa yang ada dalam akal dan apa yang ada di luar akal, bahwa setiap
benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat Ainiyah
dan hakikat Kullliyah yang sebenarnya
Mahiah atau hakikat yang bersifat
universal yang mengambil bentuk Genus dan
Species[14]
Menurut Al Kindi Tuhan adalah yang tinggi dan benar
serta dapat disifati dengan sebutan-sebutan Negatif, seperti Tuhan bukan
Materi, tak berbentuk, tak berjumlah dan tidak berhubungan. Tuhan juga tidak
dapat disifatidengan cirri-ciri yang ada di alam. Tuhan tak berjenis, tak
terbagi, tak berkejadian, Ia abadi, oleh karena itu, Ia esa dan selainnya
adalah terbilang.[15]
Menurutnya Tuhan tidak mempunyai hakekat, baik secara Juz’iyah maupun Kulliyah.
Dari pemahaman ini ia berkesimpulan bahwa tidak benar bila sifat-sifat Tuhan
berdiri sendiri dari dzatNya, Tuhan haruslah mempunyai keesaan metaforis yang
hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap oleh indra.[16]
Dalil Al Kindi dalam membahas kemaujudan Allah lagi-lagi
hamper sama dengan filsof Islam lainnya, yaitu bertumpu pada keyakinan dan
hubungan sebab akibat (hokum kausalitas), sesuatu yang maujud pasti ada yang
mewujudkannya.. namun harus ada sebab pertama atau sebab sejati, yaitu tiada
lain hanyalah Allah.[17] Dengan
kata lain Al Kindi mengikuti jalur logika.
- Proses Penciptaan Alam
Dalam masalah penciptaan alam, Al Kindi menyanggah teori
tentang ke-qodi-man alam, seperti apa yang telah dikemukakan oleh Aristotales.
Menurutnya alam diciptakan dari tidak ada menjadi ada, di alam ini juga
terdapat berbagai gerakyang menjaikan dan gerak yang merusak.[18] Al Kindi juga mengemukakan bahwa alam ini
terdiri dari dua bagian, yaitu alam dibawah falak dan alam yang merentang
tinggi sejak dari falak sampai ujung alam. Alam tidak kekal karena ala mini
terdiri dari benda-benda fisik yang terjadi dari materi dan bentuk, serta
bergerak dal;am ruang dan waktu.[19] Dengan
demikian, maka setiap benda yang terjadi dari materi dan bentuk, yang terbatas
oleh ruang dan waktu, adalah terbatas. Meski benda itu wujud dunia, karena
benda itu terbatas maka tidak kekal yang kekal hanyalah Allah.
- Masalah Ruh dan Jiwa
Menurut Al Kindi ruh dan jiwa berbeda dan terpisah dari
badan dan ia mempunyai wujud sendiri, ruh adalah wujud sederhana, dan dzatnya
tercampur dari sang pencipta, persis sperti cahaya matahari dengan matahai. Ruh
bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh.[20] Ali Kindi juga berpendapat bahwa bahwa ruh
mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dari tubuh dan tidak tergantung
satu sama lainnya.[21]
Argument yang dikemukakan AlKindi untuk menjelaskan
perlainan ruh dari badan itu ialah perlainan dari badan yang mempunyai hawa
nafsu, sifat pemarah dan lain-lain. Sedangkan ruh menentang keinginan hawa
nafsu. Selain itu, ruh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya tubuh.
Hal ini disebabkan substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. [22]
DAFTAR PUSTAKA
- Sucipto Heri. “Cahaya Islam (Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
- Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2001.
- Drs. Fkhry Madjid, Sejarah Filsafat Islan, Gramedia,
Jakarta. 1998.
[1] Madjid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islan, Gramedia, Jakarta. 1998.
[2] Ibid,
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
[4] Ibid,
[5] Madjid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islan, Gramedia, Jakarta. 1998.
[6] Ibid hal 88
[7] Ibid, h. 26
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h. 17
[9] Ibid,
[10] Ibid .
[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h. 18
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001,
[15] Ibid.
[16] Sucipto Heri. “Cahaya Islam
(Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
[17] Ibid.
[18] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit h.27
[19] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit.
[20] Op,Cit.
[21] Sucipto Heri. “Cahaya Islam
(Ilmuwan Muslim Dunia)” Grapindo, Jakarta. Cet. 1 2006
[22] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar