PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai seorang yang hidup pada masa
pendewaan akal secara berlabihan seorang filsuf Ar-Rozi merupakan pemikir ulung
yang tegar dan liberal di dalam islam. Menurut beberapa pendapat ia adalah
seorang muslim yang tidak sempurna (tidak kaffah), karena tidak mempercayai
adanya wahyu dan kenabian. Pemikiran filsafatnya tidak sistematis dan tidak
teratur. Bahkan dalam sejarah ia adalah satu-satunya pemikir rasional murni
sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan terlalu
berani dalam mengemukakan gagasan-gagasan filosufinya.
Ia seorang yang bertuhan dan mengaku tuhan maha bijak, tatapi
ia tidak mengakui wahyu-Nya/ajaran-Nya (agama). Sebaliknya mempercayai kemajuan
dan pemikiran manusia. Kami mengakui tentang keberaniannya dalam menggunakan
akal sebagai ukuran untuk menilai baik dan buruk, benar dan jahat atau berguna
dan tidak berguna.
Sehubungan dengan penolakan terhadap
wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dipandang dari
segi theology islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak
konsekuen dalam pengertian tidak utuh. Selebihnya wallahu’alam bis shawab.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Riwayat Hidup Ar-Razi?
2.
Bagaimana
Filsafat Ar-Razi?
3.
Bagaimana
Konsep Theology Ar-Razi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ar-Razi
Ar-Razi Nama lengkapnya adalah Abu
Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi dilahirkan di Ray dekat Teheran, sekitar
pada tahun 865 M / 251 H. Ar-Razi masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa
Persia dan hidup pada masa kejayaan Daulah Abasiyah. Dikala mudanya ia banyak
menumpukan perhatiannya untuk mempelajari matematika, kedokteran dan filsafat
alam ( natural philosophy) serta logika. Adapun gurunya yang banyak berjasa
kepada Ar-Razi hingga menjadi seorang Physician dan filosof terkenal adalah
Hunyn bin Ishak.[1]
Ar-Razi juga banyak menimba ilmu-ilmu
lainnya dari Abu Al-Husen Ali bin Rin Ath-Thabari. Ia pindah ke Bahgdad dan
menjabat sebagai ketua rumah sakit Al-Adhudi. Dipenghujung usianya, Ar-Razi
mnejadi buta, kemudian wafat di Baghdad
pada tahun 320 H / 924 M.[2]
Karir Ar-Razi sebagai intelektual
tampak dengan jelas dari buku-bukunya yang tidak kurang dari 200 jilid
banyaknya tentang medis, astronomi, kosmologi, kimia, filsafat dan sebagainya.[3]
Ar-Razi terkenal di Barat dengan nama
Rhezes dari buku-bukunya tentang ilmu kedoteran. Bukunya yang terkenal
adalah tentang cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bebagai bahasa di
Eropa dan pada tahun 1866 masih dicetak untuk yang keempat puluh kalinya. Al
Hawi merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, tersusun lebih dari
20 jilid dan mengandung ilmu kedokteran Yunani ,
Syria , dan
Arab.[4]
Adapun karya-karya Ar-Razi yang masih
dapat dinikmati sampai sekarangmeskipun buku-buku tersebut dihimpun dalam satu
kitab yang dikarang oleh orang lain adalah:
·
Al-Tibb
al-Ruhani
·
Al-Shirath
al-Falasafiyah
·
Amarat
Iqbal al Daulah
·
Kitab
al-ladzdzah
·
Kitab
al Ibnu al Ilahi
·
Makalah
fi mabadd altalbiah
Ar-Razi dalah filosof yang berani
mengeluarkan pendapat-pendaptnya meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan
paham yang dianut umat Islam yaitu:
·
Tidak
percaya pada wahyu
·
Al-Qur’an
bukan mu’jizat
·
Tidak
percaya pada Nabi-Nabi
Adanya hal-hal yang kekal dalam arti
tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan[6]
Meskipun beberapa pemikiran Ar-Razi
bertentangan dangan kepercayaan umat Islam, pemikirannya telah memberi warna
tersendiri dalam filsafat Islam. Terutama tentang kebesan berfikir dan
menemukan kebenaran dalam menggunakan akal.[7]
B. Filsafat
Ar-Razi
1)
Akal dan Agama
Corak Pemikaran Ar-Razi adalah
rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari kebenaran dengan pangkal
tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[8]
Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia
menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk
kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang
gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat
mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.
Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya,
kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya
sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah
dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.[9]
Menurut Ar-Razi kita hendaknya
mengembalikan segala urusan kepada akal; merubahnya dengan berpatokan
kepadanya; bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga harus menjalankan
segala urusan sesuai ketentuannya; berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh
mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya
yang mengeruhkan kejernihannya; memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan
konsistensinya.[10]
Ar-Razi tidak percaya kepada
Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran
Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran
manusia.[11] Menurutnya
para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus,
baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan
tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang
dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal
bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan
dan kekliruan. Setiap bangasa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya
kepada Nabi bangsa lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik,
peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa
yang dianutnya.[12]
Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah
benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya
bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa.
Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku
filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca
buku-buku agama.[13]
Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para
ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan
mata orang bodoh.[14]
Tidak mengherankan kalau pandangan
hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan dalam lingkaran tradisonal.
Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya
dicela disebabkan banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi
mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah
karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa dia
hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama yang
sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam annubuwat.
Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui, karena tulisan
aslinya telas musnah.[15]
2)
Prinsip Tentang Lima yang Abadi
Filsafat
Al-Razi dikenal dengan ajarannya “ Lima Kekal”, yakni :
1.
Al-Bari
Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha
Sempurna.
2.
An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa yang Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai
suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
3. Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan
menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume.
Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang
paling padat, kemudian menyusul air, hawa dan api.
4. Al-Makanul-Mutlaq,
ruang yang absolut,
abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Dari lima kekelan itu ada dua yang hidup dan
bergerak yakni, Tuhan dan ruh yang pasif dan yang tidak hidup adalah materi
pembentuk setiap wujud dan dua lagi yang tidak hidup, tidak bergerak dan tidak
pasif yaitu kehampaan dan keberlangsungan[17]
Benda tidak dapat terlepas dari yang lima ini sebab: Setiap
benda perlu ada yang menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta.
Diantara
benda ada yang hidup. Hidup memerlukan roh. Sebab itu perlu adanya roh. Benda
adalah materi, yang dengannya ia dapat diinderai. Materi mengambil tempat,
sebab itu perlu ruang untuk sebagai tempatnya. Materi mengalami perubahan,
perubahan terjadi dalam waktu.
Hanya
tentang zaman Ar-Razi membaginya atas dua bentuk, ada zaman yang absolut dan
ada zaman yang reltif. Zaman yang absolut bersifat abadi tidak berawal dan
tidak berakhir, tetapi zaman yang relatif dapat disifati dengan angaka.
Menurut
Dr. T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika Ar-Razi berasal dari
doktrin-doktrin tua seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles,
Mani dan lain-lain. Puncak dari metafisikanya itulah Prinsip
Tentang Lima Yang Abadi (five co-eternal prinsiples)[18]
3)
Hubungan Jiwa dan Materi
Allah adalah Maha Pencipta dan
Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari
sesuatu yang telah ada . karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun
materi awal kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang
telah ada.
Jiwa universal merupakan al-mabda’
al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat
daya hidup dan gerak– sulit diketahui karena ia tanpa bentuk–yang berasal dari
jiwa universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk
bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), maka
terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedang materi pertama
tanpa fisik maka Tuhan datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta
termasuk tubuh manusia yang ditempati roh, agar jiwa itu dapat melampiaskan
nafsu jahatnya dengan mengambil bagian kesenangan-kesenangan materil untuk
sementara waktu.[19]
Kemudian sebagai alat bagi roh dalam
mengenyam dunia Tuhan menciptakan manusia. Manusia inilah yang ditempati oleh
jiwa. Setelah jiwa menempati materi jasad manusia ia pun lupa kepada tujuan
yang sejati, yang berada diluar materi, ia asik mengenyam kesengan materil yang
sensitif.[20]
Tuhan menciptakan manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukan bahwa dunia ini
bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki.
Manusia tidak akan mencapai dunia
hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan
mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan
buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia sampai ia disadarkan oleh
filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki.
Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[21]
4)
Moral
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral,
sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah
al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti berdasrkan kepada petunjuk
rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia
memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar
ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang
pada gilirannya akan menghancurkan manusia.[22]
Dusta
adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang
bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta
terletak pada niat. Demikian pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada
alasan melakukannya. Bila kikiran tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin
dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus
ada pembenaran apabila kikiran orang tersebut mempunyai alasan yang dapat
diterima, maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya
maka hal yang demikian haruslah diperangi.[23]
C. Theology
Ar-Rozi
Meskipun Ar-Rozi seorang rasional
murni ia tetap bertuhan, hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian.
Berikut gaya
dan pokok-pokok penolakan ar-rozi.
Bantahan ar-rozi terhadap kenabian
dengan alasan:
1.
Bahwa akal
sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang jahat yang b erguna dan yang tidak berguna. Melalui akal manusia dapat
mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa
masih dibutuhkan nabi?
2.
Tidak ada keistimewaan
bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir
dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pemlbawaan alamliahm
tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3. para nabi saling bertentangan, apabila mereka
berbicara atau nama satu ATuhan mengapa implementasi mereka terhadap
pertentangan? Setelah menolak kenabian kemudian al razi mengkritik agama secara
umum. Ia menjelaskan
kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi Kristen atau pun majusi. Pengikatan manusia
terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan kekuasaan ulama yang mengabdi
Negara dan manifestasi lahiriah agama, upacara-upacara, dan pengibadatan yang
mempengaruhi mereka yang sederhana dan naïf.
Al Razi mengkritik secara sestematis
kitab-kitan wahyu Al-Quran dan injil. Ia mencoba mengkritik yang satu dengan
menggunakan yang lainnya. Misalnya ia mengkritik agama Yahudi dengan
paham-paham Kristen dan Islam. Kemudian ia mengkritik Al-Quran dengan injil.
Pertama ia menolak mu’jizat Al-Quran
baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan adanya kemungkinan menulis
kitab yang lebih baik dalam gaya
yang lebih baik.
Al-Razi lebih suka terhadap buku-buku
ilmiah dari pada kitab suci. Sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi
kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, astronomi, geometri
dan logika lebih berguna dari pada injil dan Al-Quran. Penulis-penulis buku
ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka
sendiri tanpa bantuan para nabi.
Ilmu pengetahuan berasal dari tiga
sumber yaitu: pemikiran yang didasarkan pada logika, tradisi dari para
pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti meyakinkan dan
akurat seperti dalaml sejarah dan naluri yang menuntun manusia tanpa memerlukan
banyak pemikiran.
Oleh karena itulah tidak masuk akal
apabila tuhan mengutus para nabi, karena banyak melakukan kemadharatan. Adanya
peperangan yang terjadi di antara berbagai bangsa adalah sebagai akibat percaya
kepada mereka tanpa reserve dengan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawa
mereka, kemudian saling bertentangan akhrinya timbul peperangan yang bersifat
keagamaan di dunia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ar-Razi adalah filosof yang hidup
pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini sebagaimana Mu’tazilah yang
merupakan theologi dalam Islam. Apabila ar-Razi seorang muslim maka dia
bukanlah seorang muslim yang sempurna disebabkan ketidak percayaannya kepada
wahyu dan kenabian. Akan tetapi Ar-Razi tetap dipandang pada masanya sebagai
seorang yang tegar dan liberal didalam Islam. Bahkan dalam sejarah Ar-Razi
adalah seorang yang dikenal sebagai seorang rasional murni dan sangat
mempercayai akal, bebas dari prasangka serta terlalu berani dalam mengeluarkan
gagasan filosofinya.[24]
Dan untuk mengakhiri makalah ini saya
akan menukil pernyataan Al-Ghazali mengenai persoalan-persoalan yang terdapat
dalam karya-karya filosof Islam yang menurutnya dapat merusak ajaran Islam.
Al-Ghazali mencatat ada dua puluh persoalan, dari dua puluh persoalan tersebut
tujuh belas diantaranya dipandang sebagai pembaharuan yang tercela (bid’ah).
Dan tiga diantaranya yakni pandangan filosof tentang (1) yakni badan manusia
tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, akan tetapi jiwa yang dicabut dari
badan yang akan diberi balasan baik atau hukuman. Dan baik pahala atau hukum
tersebut adalah dalam bentuk spritual dan bukan bentuk jasmaniah (2) Tuhan yang
maha Mulia hanya mengetahui hal-hal yang universal dan bukan yang partikular
dan (3) bahwa dunia ini kadim[25]
baik waktu yang lalu maupun yang akan datang. Oleh Al-Ghazali ketiga pandangan
itu menyebabkan para filosof dapat dipandang kafir.[26]
DAFTAR PUSTAKA
1.
Yusril
Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta : Bumi Aksara
2.
Dr. Ismail
Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa
3. Harun Nasution, Fisafat
dan Mistisme Dlam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
4. Hasymsyah Naution, Filsafat
Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
5.
Bagus
Takwin, Filsafat Timur
6.
Drs. H. A.
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung :
Pustaka
7.
JMW.
Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta :
Penerbitan Yayasan Kanisus
8.
Misla
Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta : UIP
9.
Agusa
Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang : UMM Press, 2002, Cet I
[1] Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet
I, hal. 34
[2] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Ensklopedi Filsafat, Jakarta : Khalifa, Cet I,
hal. 106
[3] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 34
[4] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisme
Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal.15
[5] Drs. H. A Mustofa, Filosafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia , hal.117
[6] Harun Nasution, Op.Cit, hal 19
[7] Bagus Takwin, Filsafat Timur, hal.
123
[8] Misla Muhammad Amien, Epistimologi
Islam, Jakarta: UIP, hal. 46
[9] Hasymsyah Naution, Filsafat Islam, Jakarta
: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
[10] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
[11] Yusril Ali, Op.Cit, hal.35
[12] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[13] Yusril Ali, Op.Cit, hal.
36
[14] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
[15] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta : Penerbitan Yayasan Kanisus, Cet I, hal.
43-44
[16] Yusril Ali,Op.Cit, hal. 37
[17] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal. 120
[18] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[19] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 26-27
[20] Yusril Ali, Op.Cit, hal.38
[21] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal
[22] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit, hal.20
[23] Op.Cit, hal. 21
[24] Drs. H.A Mustofa, Op.Cit, hal. 125
[25] Terdahulu dari tiap-tiap permulaan; awal daris segala permulaan
yang tidak terbatas oleh masa.
[26] Agusa Purwanda, Teologi Filsafat dan Sains, Malang : UMM Press, 2002,
Cet I, hal. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar