Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai
sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam
ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford
kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata
positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang
sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain.
Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan
oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara
berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal
dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi
kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste
Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan
memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte
berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal ini, yang kemudian
berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan
saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora. Tulisan pendek ini
akan mencoba memaparkan Auguste Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.
AUGUSTE COMTE
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier
Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah
menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte
melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[3] Masa
pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16.
Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di
lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu
alam.[4] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak
angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan
matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian
Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh
intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan
terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya
dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang
diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De
Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya
besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive.
Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari
habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai
pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[5]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi
karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux
Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah
untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal
menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat
kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[6]
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga
tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada
tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad
pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap
kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan
kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan
karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42.
Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal
kehidupannya.[7] Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika
dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-54.[8] Dalam perjalanan
sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai
praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan
dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh
yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.[10]
KELAHIRAN FILSAFAT POSITIVISTIK[11]
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman
aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan
teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi
metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai
pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn
al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian,
konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan
Comte di abad kesembilan belas.[12]
Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang
perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum
yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three
Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya,
secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis
yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia
berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan
berlawanan.[13] Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah
menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia. Sedangkan tahap
ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas manusia. Tahap
kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja.[14]
Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa dilacak pada
iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan sampai pada simpulan
tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh
adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan tentang
multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan
Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh
Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan oleh
Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap perkembangan intelektualitas
manusia Turgot menulis:
”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical effects, nothing was more natural than to suppose that these were produced byintelligent beings, invisible and resembling ourselves. Everything that happened…had its god…When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the idea struck them to explain the causes of phenomena by way of abstract expressions like essences and faculties: expressions which in fact explained nothing, and about which men reasoned as if they were beings, new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties were proliferated in order to provide a cause for each effect.It was only much later, through observation of the mechanical action which bodies have upon one another, that men derived from this mechanics other hypotheses which mathematics was able to develop and experiment to verify.”
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar
(great fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan perkembangan
intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan.[15]
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum
digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte
adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada
filsafat.[16] Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu
filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga zaman Comte). Dari
filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu
konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari
sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode
filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan
mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada
kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan
filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat
positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena
filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab
sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.[17]
PENGARUH POSITIVISME COMTE
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual
abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias
memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang
mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The
Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry
Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan
Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan
belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu
hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.[18]
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery,
yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan
lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang
mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik,
psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran
Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte
bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.[19]
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887
merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang
diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte
untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best
possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte
dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan
filsafat secara umum.[20]
KRITIK ATAS POSITIVISME
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya
terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi
menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa
”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan
individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem
fisika”.[21]
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik
ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial
dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan
mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara
sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta
sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan
produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme
mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah
menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek
yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang
tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk
positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter
konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik
tertentu.[22]
endnotes:
[1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333.
[2] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa
Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, h. 225 dan 227-8.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 6 Februari 2009
[4] Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of
Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century, h. 123.
[5] Ibid.
[6] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
[7] Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 117.
[8] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
[9] Robert Brown, op.cit., h. 122.
[10] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html
[11] Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat sebenarnya
kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv (dengan ’v’ alih-alih
’f’). Penggunaan ini semata untuk menghindari kesalahpahaman yang ditimbulkan
dari kata positif dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata positif
(dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive (positive).
[12] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[13] Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet Martineau, v. I, h.
27.
[14] Ibid., v. I, h. 28.
[15] Robert Brown, op.cit., h. 124-5.
[16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, h. 14-5
[17] Ibid., h. 12-3 dan Robert Brown, op. cit., h. 126.
[18] Robert Brown, op.cit., h. 141.
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 141-3.
[21] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566
dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[22] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
DAFTAR BACAAN
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum
al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah
al-Jami’iyah).
Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896. (George
Bell & Sons: London).
Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press: Oxford).
Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion Books:
New York).
Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994.
(Routledge: London dan New York).
Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994. (al-
Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).
Sumber Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte
http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar