Minggu, 24 Februari 2013

ANALISA SOSIAL


Analisa Sosial: Pengenalan Paradigma Dan Teori Sosial
“Pisau Analisis Atas Realitas Sosial”

Paradigma-Teori Sosial
Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
          Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
          Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
          Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi.  Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).
          Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
          Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.
          Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga  menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
          Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
          Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
          Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
          Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
          Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
          Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Tentang paradigma itu sendiri, Ritzer memberi penjelasan bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan mengubung-hubungkan antara exsemplar, teori-teori, metode serta peralatan analisis yang terkandung didalammya. Dalam bukunya Ritzer merinci dalam cabang ilmu sosiologi terdapat 3 paradigma yang tiap paradigma mempunyai exsemplar, bangunan teori dan metode serta instrument yang digunakan untuk menganalisis.
Secara garis besar penjelasan Ritzer dapat kita lihat pada tabel berikut:
Ilmu Sosiologi

Paradigma
Tokoh Utama
Exemplar dan pokok persoalan
Teori-teori
metode
Fakta Sosial
Emile Durkheim
Structur makro sosial dan pranata sosial
1. Fungsionalis Structuralis
2. Konflik
3. Sistem
4. Sosiologi makro
Kuisioner dan interview
Definisi Sosial
Max Weber
Aksi dan interaksi sosial
1. Aksi
2. Interaksionis Simbolik
3. Fenome -nologi
Observasi dengan 4 tipe:
1. Participant observation
2. Partisipant as observer
3. Observes as participant
4. Complete observer
Perilaku Sosial
B.F. Skinner
Tingkahlaku dan perulangan tingkahlaku
1. Behavioral Sociology
2. Exchange
Experimental
Terkadang juga menggunakan kuisioner, interview dan observasi
Dari ketiga paradigma diatas meskipun dalam kemunculan dan perkembangan awalnya sempat terjadi gejolak dan saling serang antar penganut paradigma, namun dalam perkembangan selanjutnya para ahli banyak yang berusaha membebaskan diri dari pembagian paradigma secara extrim tersebut. Menurur Ritzer sebenarnya perbedaan antara ketiga paradigma diatas hanya bersifat estetis dimana perbedaan itu terdapat pada pengalaman peneliti dilapangan serta adanya perbedaan yang hanya bersifat sugestif (bukan extrim) tentang tiga variabel (berdasatkan penelitian Brown dan Gilmartin) , yaitu sebagai berikut:
Variabel
Paradigma
Individu
Individu—Group
Group
Perilaku Sosial
Definisi Sosial
Fakta Sosial
Tahap ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh yang berusaha mmbuat jembatan paradigma dalam sosiologi misal Durkheim, Weber, Marx, Parsons. Apabila Durkheim, Weber, Marx berusaha menjembatani antara paradigma fakta sosial dan dan definisi sosial (lihat babII), sedangkan Parsons berbicara tentang menyatukan ketiga paradigma diatas, ia juga mengintegrasikan pandangan psikologi dari penganut Freud dan aliran antropologi dan ia cenderung bergerak dari satu paradigma ke paradigma yang lain. Perdamaian paradikmatik dan teoritis juga ditandai dengan berakhirnya pertentangan antara teori konflik dengan teori fungsionalis strukturalis bila dilihat dengan konsep paradigma akan ditemukan sejumlah kesamaan asumsi dan perspektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada dalam ketiga paradigma diatas dan kedua teori diatas bukan merupakan perbedaan yang mendasar. Menginggat tiada satu paradigma yang berdiri tanpa kelemahan dan akibat negatif selama ini oleh “perang paradigma”, maka dari itu upaya besar kemungkinan untuk membuat paradigma terpadu dengan tujuan akhir memantapkan dan demi kemajuan ilmu Sosiologi.
Adanya jembatan paradigma dan perdamaian paradigma mendorong Ritzer untuk membentuk paradigma terpadu. Pembentukan paradigma terpadu yang diusahakan Ritzer berdasarkan ahli-ahli terdahulu, utamanya dari Kuhn dan para tokoh penjembatan paradigma (Durkheim, Weber, Marx, Parsons).
Diawali oleh uraian Kuhn tentang konsep paradigma dan penjelasan bahwa tiada paradigma itu yang dominan diantara paradigma yang lain karena perkembangan ilmu pengetahuan bukannya bersifat kumulatif melainkan bersifat revolusi: Paradigma I —>Normal Sc. —>Anomalies —>Crisis —>Revolusi —> Paradigma II
Selanjutnya paradigma terpadu yang disusun Ritzer dari tokoh penjembatan paradigma adalah dia mengangkat model “tingkatan realitas sosial” untuk menerangkan kompleksibilitas yang sangat luas dalam subjek-matter sosiologi, maka model ini merupakan abstraksi dalam berbagai tingkat kepentingan analisa dan lebih merupakan suatu konstrak sosiologis daripada keadaan sebenarnya. Tingkatan realitas sosial dapat diperoleh dari inter-relasi antara dua kontinum sosial, yaitu makroskopik - mikroskopik dan kontinum obyektif - subyektif untuk mengacu apakah sesuatu itu nyata atau didalam alam ide. Gambaran tingkatan umum realitas sosial dapat dilihat dalam bagan berikut:

  
Ada 4 buah paradigma yang ada pada sosiologi dan penerapannya.
1. Functionalist Paradigm ( Objective – Regulation )
Paradigma ini merupakan paradigma yang dominan pada studi organisasi. Paradigma ini menyediakan penjelasan yang rasional tentang masalah kemanusiaan. Pada dasarnya paradigma ini bersifat pragmatis dan mengakar kepada konsep positivisme. Hubungan-hubungan yang ada bersifat konkret dan bisa diidentifikasi, dipelajari, dan diukur melalui media ilmiah. Paradigma ini dipengaruhi oleh idealis dan marxis.
2. Interpretive Paradigm ( Subjective – Regulation )
Paradigma ini menjelaskan tentang kestabilan perilaku dalam pandangan seseorang individual. Paradigma ini memfokuskan pada pemahaman mengenai dunia yang diciptakan secara subjektif apa adanya serta prosesnya. Filosofer seperti Kant membentuk dasar dari paradigma ini, sementara Weber, Husserlm dan Schutz melanjutkan ideologi ini.
3. Radical Humanist ( Subjective – Radical Change )
Pada pandangan paradigma ini, kesadaran seseorang didominasi oleh struktur ideologinya, cara pandang hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan. Hal ini akan mengarahkan hubungan kognitif antara dirinya dan kesadaran sebenarnya, sehingga mencegah pemenuhan kepuasan pada manusia. Para pendukung teori ini memfokuskan pada pembentukan batasan sosial yang mengikat potensial. Filosofer yang mendukung teori ini antara lain Kant dan Hegel dan Marx. Paradigma ini dapat dipandang sebagai paradigma yang anti organisasi.
4. Radical Structuralist ( Objective – Radical Change )
Paradigma ini mempercayai bahwa perubahan radikal dibentuk pada sifat struktur sosial. Masyarakat kontemporer dapat dikarakteristikan dengan konflik fundamental yang akan menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini berdasarkan pada Marx dewasa, yang diikuti oleh Engles, Lenin, dan Bukharin. Paradigma ini memiliki sedikit perhatian di Amerika Serikat diluar teori konflik.
Teori regulation lebih melakukan eksplorasi pada kesatuan masyarakat dan kohesivitas. Pada radical change, fokus terdapat pada konflik struktural, dominasi, dan kontradiksi struktural.

Peran dan Fungsi Ansos
Ada beberapa peran dan fungsi analisa sosial dalam masyarakat, yaitu:
  1. Mengetahui struktur-supra struktur dalam sebuah komunitas atau masyarakat.
  2. Menelanjangi ideologi-kepentingan yang ada di masyarakat.
  3. Mengetahui akar masalah-sumber konflik demi kepentingan integrasi sosial.
  4. Pastinya fungsi-kepentingan ansos (subjektifias) sesuai dengan perubahan masyarakat dkk

Penutup
Bahwa seseorang dapat mengerti batasan debat sosiologi dengan cara memetakan teori pada sebuah peta 2 dimensi dengan debat subjektif-objektif pada satu sumbu dan pada sumbu lainnya (regulation-radical change). Setiap kuadran berhubungan pada paradigma yang ada di sosiologi. Salam Tangan terkepal dan Maju kemuka..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar