Analisa Sosial: Pengenalan Paradigma Dan Teori Sosial
“Pisau Analisis Atas Realitas Sosial”
Paradigma-Teori
Sosial
Secara sederhana
paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek
sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of
Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970).
Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang
menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn
mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu
lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori
ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated
oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science
(Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga
paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu
Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu
paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari
paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas
pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah
dalam struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada ketiga
paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh
Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua
karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide
(1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan
Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik
pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan
baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah
hukum evolusi yang universal. Ada
kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus
“positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori
evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial.
Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam
masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan
dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap
sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat
dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan
dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan
pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas
maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian
yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas
data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu
struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social
instistution).
Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah :
Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori
Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme
Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa
sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial,
organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini
cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem
lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya
adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan
pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial
sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik
adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber
untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok
persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan
sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada
penjelasan kausal. Untuk mempelajari
tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan
pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya
disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki
oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis
yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang
tokoh populernya adalah G. H. Mead.
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini
dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari
ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai
tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang
konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan
perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement).
Skinner juga menghilangkan konsep
volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung
dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif
yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah
“Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa
penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro
masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam
penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan
perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses
berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial.
Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada
“tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih
menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian
menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah
“tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif,
mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga
bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan
interaksionisme simbolik. Paradigma pertama
digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo
Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada
dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang
dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang
terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur
lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena
mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam
menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo
(apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori
ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma
ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor
penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia
dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme
Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses
relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas
dan kelas bawah.
Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi,
untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini
akan dibahas analisis Habermas dalam membagi
paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama,
paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih
dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini
sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma
fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil
cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada
universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang
obyektif atas realitas sosial.
Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah
fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada
minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara
atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara
sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan.
Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan
positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut
perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan.
Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam
masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan
critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu
pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah
diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma
tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki
kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu
dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja,
sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial.
Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih
menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi
tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu
memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan
lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi
karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif
sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Tentang paradigma itu sendiri, Ritzer
memberi penjelasan bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu
cabang disiplin ilmu pengetahuan. Paradigma menggolong-golongkan,
mendefinisikan, dan mengubung-hubungkan antara exsemplar, teori-teori, metode
serta peralatan analisis yang terkandung didalammya. Dalam bukunya Ritzer
merinci dalam cabang ilmu sosiologi terdapat 3 paradigma yang tiap paradigma
mempunyai exsemplar, bangunan teori dan metode serta instrument yang digunakan
untuk menganalisis.
Secara garis besar penjelasan Ritzer
dapat kita lihat pada tabel berikut:
Ilmu Sosiologi
|
Paradigma
|
Tokoh Utama
|
Exemplar dan pokok persoalan
|
Teori-teori
|
metode
|
Fakta Sosial
|
Emile Durkheim
|
Structur makro sosial dan pranata sosial
|
1. Fungsionalis Structuralis
2. Konflik
3. Sistem
4. Sosiologi makro
|
Kuisioner dan interview
|
|
Definisi Sosial
|
Max Weber
|
Aksi dan interaksi sosial
|
1. Aksi
2. Interaksionis Simbolik
3. Fenome -nologi
|
Observasi dengan 4 tipe:
1. Participant observation
2. Partisipant as observer
3. Observes as participant
4. Complete observer
|
|
Perilaku Sosial
|
B.F. Skinner
|
Tingkahlaku dan perulangan tingkahlaku
|
1. Behavioral Sociology
2. Exchange
|
Experimental
Terkadang juga menggunakan kuisioner, interview dan observasi
|
Dari ketiga paradigma diatas meskipun
dalam kemunculan dan perkembangan awalnya sempat terjadi gejolak dan saling
serang antar penganut paradigma, namun dalam perkembangan selanjutnya para ahli
banyak yang berusaha membebaskan diri dari pembagian paradigma secara extrim
tersebut. Menurur Ritzer sebenarnya perbedaan antara ketiga paradigma diatas
hanya bersifat estetis dimana perbedaan itu terdapat pada pengalaman peneliti
dilapangan serta adanya perbedaan yang hanya bersifat sugestif (bukan extrim)
tentang tiga variabel (berdasatkan penelitian Brown dan Gilmartin) , yaitu
sebagai berikut:
Variabel
|
Paradigma
|
Individu
Individu—Group
Group
|
Perilaku Sosial
Definisi Sosial
Fakta Sosial
|
Tahap ini ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh yang berusaha mmbuat jembatan paradigma dalam sosiologi misal
Durkheim, Weber, Marx, Parsons. Apabila Durkheim, Weber, Marx berusaha
menjembatani antara paradigma fakta sosial dan dan definisi sosial (lihat
babII), sedangkan Parsons berbicara tentang menyatukan ketiga paradigma diatas,
ia juga mengintegrasikan pandangan psikologi dari penganut Freud dan aliran
antropologi dan ia cenderung bergerak dari satu paradigma ke paradigma yang
lain. Perdamaian paradikmatik dan teoritis juga ditandai dengan berakhirnya
pertentangan antara teori konflik dengan teori fungsionalis strukturalis bila
dilihat dengan konsep paradigma akan ditemukan sejumlah kesamaan asumsi dan
perspektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada dalam ketiga
paradigma diatas dan kedua teori diatas bukan merupakan perbedaan yang
mendasar. Menginggat tiada satu paradigma yang berdiri tanpa kelemahan dan
akibat negatif selama ini oleh “perang paradigma”, maka dari itu upaya besar
kemungkinan untuk membuat paradigma terpadu dengan tujuan akhir memantapkan dan
demi kemajuan ilmu Sosiologi.
Adanya jembatan paradigma dan
perdamaian paradigma mendorong Ritzer untuk membentuk paradigma terpadu.
Pembentukan paradigma terpadu yang diusahakan Ritzer berdasarkan ahli-ahli
terdahulu, utamanya dari Kuhn dan para tokoh penjembatan paradigma (Durkheim,
Weber, Marx, Parsons).
Diawali oleh uraian Kuhn tentang
konsep paradigma dan penjelasan bahwa tiada paradigma itu yang dominan diantara
paradigma yang lain karena perkembangan ilmu pengetahuan bukannya bersifat
kumulatif melainkan bersifat revolusi: Paradigma
I —>Normal Sc. —>Anomalies —>Crisis
—>Revolusi —> Paradigma II
Selanjutnya paradigma terpadu yang
disusun Ritzer dari tokoh penjembatan paradigma adalah dia mengangkat model
“tingkatan realitas sosial” untuk menerangkan kompleksibilitas yang sangat luas
dalam subjek-matter sosiologi, maka model ini merupakan abstraksi dalam
berbagai tingkat kepentingan analisa dan lebih merupakan suatu konstrak
sosiologis daripada keadaan sebenarnya. Tingkatan realitas sosial dapat
diperoleh dari inter-relasi antara dua kontinum sosial, yaitu makroskopik -
mikroskopik dan kontinum obyektif - subyektif untuk mengacu apakah sesuatu itu
nyata atau didalam alam ide. Gambaran tingkatan umum realitas sosial dapat
dilihat dalam bagan berikut:
1. Functionalist Paradigm ( Objective – Regulation )
Paradigma ini merupakan paradigma yang dominan pada studi organisasi.
Paradigma ini menyediakan penjelasan yang rasional tentang masalah kemanusiaan.
Pada dasarnya paradigma ini bersifat pragmatis dan mengakar kepada konsep
positivisme. Hubungan-hubungan yang ada bersifat konkret dan bisa
diidentifikasi, dipelajari, dan diukur melalui media ilmiah. Paradigma ini
dipengaruhi oleh idealis dan marxis.
2. Interpretive Paradigm ( Subjective – Regulation )
Paradigma ini menjelaskan tentang kestabilan perilaku dalam pandangan
seseorang individual. Paradigma ini memfokuskan pada pemahaman mengenai dunia
yang diciptakan secara subjektif apa adanya serta prosesnya. Filosofer seperti
Kant membentuk dasar dari paradigma ini, sementara Weber, Husserlm dan Schutz
melanjutkan ideologi ini.
3. Radical Humanist ( Subjective – Radical Change )
Pada pandangan paradigma ini, kesadaran seseorang didominasi oleh
struktur ideologinya, cara pandang hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan.
Hal ini akan mengarahkan hubungan kognitif antara dirinya dan kesadaran
sebenarnya, sehingga mencegah pemenuhan kepuasan pada manusia. Para pendukung teori ini memfokuskan pada pembentukan
batasan sosial yang mengikat potensial. Filosofer yang mendukung teori ini
antara lain Kant dan Hegel dan Marx. Paradigma ini dapat dipandang sebagai
paradigma yang anti organisasi.
4. Radical Structuralist ( Objective – Radical Change )
Paradigma ini mempercayai bahwa perubahan radikal dibentuk pada sifat
struktur sosial. Masyarakat kontemporer dapat dikarakteristikan dengan konflik
fundamental yang akan menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan
ekonomi. Paradigma ini berdasarkan pada Marx dewasa, yang diikuti oleh Engles,
Lenin, dan Bukharin. Paradigma ini memiliki sedikit perhatian di Amerika
Serikat diluar teori konflik.
Teori regulation lebih melakukan eksplorasi pada kesatuan masyarakat
dan kohesivitas. Pada radical change, fokus terdapat pada konflik struktural,
dominasi, dan kontradiksi struktural.
Peran dan Fungsi
Ansos
- Mengetahui struktur-supra
struktur dalam sebuah komunitas atau masyarakat.
- Menelanjangi
ideologi-kepentingan yang ada di masyarakat.
- Mengetahui akar
masalah-sumber konflik demi kepentingan integrasi sosial.
- Pastinya
fungsi-kepentingan ansos (subjektifias) sesuai dengan perubahan masyarakat
dkk
Penutup
Bahwa seseorang dapat mengerti batasan debat sosiologi dengan cara
memetakan teori pada sebuah peta 2 dimensi dengan debat subjektif-objektif pada
satu sumbu dan pada sumbu lainnya (regulation-radical change). Setiap
kuadran berhubungan pada paradigma yang ada di sosiologi. Salam Tangan
terkepal dan Maju kemuka..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar