Rabu, 06 Februari 2013

WANITA DALAM TRADISI ISLAM



(Sketsa Pemikiran Fatimah Mernisi)

 PENDAHULUAN

Islam, sebagaimana diklaim oleh pemeluknya, merupakan agama universal. Oleh karena itu kaum muslimin sering mengklaim bahwa Islam sha>lih} li kulli zama>n wa maka>n. Bahkan lebih dari itu Islam dianggap ya’lu wala> yu’la ‘alaihi. Klaim-klaim keagamaan seperti ini tentu saja wajar. Setiap agama memiliki klaim-klaim sejenis.[1]
Akan tetapi –bersamaan dengan perjalanan klaim tersebut— zaman terus menerus berubah. Apa yang kita sebut baik dan benar di satu zaman, barangkali tidak berlaku lagi zaman ini. Begitu pula, apa yang berlaku pada masa kini, mungkin tidak berlaku lagi di masa depan. Dengan demikian klaim universalitas Islam, selalu mendapat tantangan di setiap zaman. Pertanyaan yang bisa dimunculkan terhadap klaim tersebut: apanya yang “selalu sesuai dengan zaman”? Apa yang “lebih tinggi”?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut bisa beragam dan tidaklah mudah untuk dirumuskan secara eksak adalah Amin Abdullah umpamanya, yang menawarkan konsep normatifitas-historisitas.[2] Namun konsep tersebut tentu saja tetap berpeluang untuk dipertanyakan. Sebab batas wilayah dan format hubungan diantara kedua dimensi tersebut –normatifitas ajaran wahyu yang bersifat universal dan historisitas pengalaman kekhalifahan manusia— pada dasarnya juga membutuhkan interpretasi historis terhadap dimensi normatif.
Problem yang sama muncul pada apa yang disebut womenissues, persoalan perempuan dalam masyarakat Islam. Persoalan mendasar dalam membahas posisi wanita dalam Islam adalah apakah kondisi dan posisi wanita di masyarakat Islam dewasa ini telah merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam.
Respon umat Islam tentang masalah ini, menurut Mansur Faqih, pada umumnya dapat dikategorikan menjadi dua golongan utama.[3]
Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem hubungan laki-laki perempuan di masyarakat saat ini telah sesuai dengan ajaran Islam, karena itu tidak perlu diemansipasikan lagi.[4] Lebih jauh Mansur Faqih menjelaskan bahwa golongan pertama ini menghendaki status quo dan menolak untuk mempermasalahkan kondisi maupun posisi kaum perempuan.[5] Pernyataan Zakiah Daradjat bahwa “Islam tidak mengenal konsep feminisme, ajaran Islam tentang perempuan sudah sangat jelas, tanpa perlu mendirikan feminisme”,[6] barangkali cukup mewakili kelompok ini.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa kaum muslimat dewasa ini berada dalam satu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat.[7] Lebih jauh mereka menganggap bahwa posisi kaum muslimat dalam kenyataan di masyarakat saat ini tertindas oleh suatu sistem dan struktural gender, dan karenanya ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Disebabkan proses ketidakadilan tersebut berakar pada ideologi yang didasarkan pada keyakinan agama, maka upaya perjuangan ideologis adalah upaya dekonstruksi terhadap tafsiran agama yang tidak adil.[8]
Salah seorang eksponen penting dari kelompok kedua ini adalah Fatima Mernissi. Profesor Sosiologi di Fakultas Sastra Universitas Muhammed V Maroko. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan mengapa dan bagaimana Mernissi menjelaskan posisi wanita dalam tradisi Islam melalui kajian dia dalam buku Women and Islam: an Historical an Theological Enqury. Kajian bersifat deskriptif reflektif berfokus pada buku tersebut guna menemukan struktur pemikiran Mernissi tentang masalah posisi wanita dalam tradisi Islam.

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN INTELEKTUAL

Fatima Mernissi dilahirkan pada tahun 1940 di Maroko dan mendapatkan pendidikan pertamanya di sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum nasionalis Maroko. Pada masa remaja dia aktif dalam gerakan menentang kolonialime Perancis. Buku  terkenalnya yang telah menempatkannya sejajar dengan penulis-penulis perempuan lain adalah Beyond the Viel : Malle-Female Dynamics in Modern Moslem Society. Bukunya yang sudah terbit di Indonesia adalah Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, Bandung, 1994, wanita Di dalam Islam, Pustaka, 1994 dan Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, Yogyakarta, 1994.
Banyak fakta yang menarik dalam kehidupan Mernissi yang sedikit banyak ada kaitannya dengan perkembangan intelektualitasnya, terutama sikapnya terhadap tradisi Islam dalam hubungannya kehidupan wanita. Hal ini secara eksplisit dijelaskan sendiri oleh Mernissi dalam beberapa bagian tertentu dari tulisannya. Dalam Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, Mernissi menulis: “Aku dilahirkan di salah satu harem terakhir di kota Fez pada tahun 1940, sesaat sebelum dinding-dinding institusi yang terhormat itu mulai retak atas desakan modernisme.[9]
Sedangkan dalam tulisannya Wanita dalam Islam Mernissi mengungkapkan secara detail empat fase dari kehidupannya ; masa kanak-kanak, masa ramaja, masa dewasa dan perkenalannya dengan peradaban Barat. Tentang masa kanak-kanak Menissi menulis:
Selama masa kanak-kanak saya memiliki hubungan yang sangat ambivalen dengan al-Qur’an  di sekolah al-Qur’an, kami diajar dengan cara yang keras. Namun Islam bagi pikiran kanak-kanak saya, hanya keindahan rekaan versi nenek saya yang buta huruf. Lalla Yasmina yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis.[10] Bersama Lalla Yasmina kami bisa bermain kata-kata dengan bebas. Sedangkan di sekolah al-Qur’an, jika kami salah melafalkan, paling sedikit kami akan menerima hukuman. Lalla Fatiha (sang guru) begitu terobsesi dengan pelafalan.[11] Sikap ganda terhadap teks-teks suci ini melekat pada diri saya selama bertahun-tahun.[12]
Pada masa remaja Mernissi mulai berkenalan dengan sunnah, yang menurut pengakuannya, sempat membuat dia terluka.
“Di sekolah menengah, pelajaran sejarah agama ditandai dengan pengenalan dengan sunnah. Beberapa hadits yang bersumber dari kitab Bukhari, dikisahkan oleh guru kepada kami, membuat hati saya terluka. Rasulullah mengatakan bahwa “anjing, keledai dan wanita, akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka,menyeladiantara orang yang shalat dan kiblat”.[13] Perasaan saya amat terguncang mendengar hadits semacam ini, …dan saya berkata pada diri saya sendiri : bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan hadits semacam itu, yang demikian melukai diri saya?[14]
Sikap emosional serta kecenderungan memberontak terhadap apa yang terdapat dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits, kemudian terbawa juga ketika ia menjadi dewasa.
“Bisakah seorang wanita menjadi pemimpin kaum muslimin?”, tanya saya kepada pedagang sayur langganan saya, yang seperti halnya kebanyakan pedagang sayuran di Maroko merupakan barometer opini masyarakat. “Naudzubillah min dzalik”!, dia berseru dengan kaget … seorang langganan yang lain kemudian menyerang saya dengan sebuah hadits yang diyakininya mematikan: “suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh kemakmuran”. Kami semua terdiam kalah dan marah, mendadak saya merasakan kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan informasi mengenai hadits tadi…[15]
Perkenalan Mernissi dengan peradaban Barat Modern, semakin mempertajam sikap kritis Mernissi terhadap tradisi keagamaan di dunai Isllam, terutama menyangkut perlakuan terhadap wanita.
“… jutaan wanita Yahudi dan Kristen Sekarang ini menikmati privilese ganda: hak asasi penuh di satu pihak dan akses kepada tradisi keagamaan inspirasional di lain pihak sebagai seorang wanita Arab yang secara khusus terpesona oleh cara-cara dimana orang di dunia modern mengelola dan mengintegrasikan masa lampau mereka, saya senantiasa memperoleh kejutan ketika mengunjungi Eropa dan Amerika. Mereka menjual diri mereka sebagai masyarakat supra modern, dan saya menemukan betapa Yahudi dan Kristennya iklim budaya mereka sesungguhnya”.[16]
Dari pengamatan kita terhadap berbagai fakta tersebut setidak-tidaknya dapat ditarik kesan bahwa pemikiran Mernissi sangat dipengaruhi oleh realitas perlakuan terhadap wanita, sebagai fefleksi dari norma agama yang muncul dari dua tradisi yang sangat berbeda; tradisi Arab Islam dan tradisi Barat Kristen. Kedua tradisi keagamaan itu telah memberi warna terhadap dua peradaban besar yang satu sama lain sangat kontras perkembangannya. Peradaban Barat Modern yang dilatarbelakangi tradisi Kristen dan peradaban Arab Islam yang terkebelakang sebagai perwujudan norma-norma agama Islam.

WAKTU SEBAGAI KUNCI PERADABAN

Secara filosofis Marnissi membahas pandangan kaum muslimin dewasa ini tentang sejarah dan masa depan, dalam rangka membangun kerangka pandangan terhadap tradisi yang berkembang di dunia Islam.
Menurut Mernissi, dengan mengutip Serge Moscovici, keberhasilan Barat membangun peradaban dunia modern adalah karena transformasi pandangan mereka mengenal waktu.[17] Barat menguasai waktu dengan menetapkan masa depan sebagai orientasi, ke arah mana segenap energi kreatif dikerahkan “Kita waktukan segala sesuatu”, demikian Mascovici, sebagaimana dikutip Mernissi.[18]
Disinilah letak perbedaanantara masyarakat Barat dan kaum muslimin. Keterpekaan kaum muslimin pada kematian membuat hari ini dan masa depan hanya sebagai selingan dalam kehidupan mereka. Orientasi kaum muslimin adalah masa lalu, dalam struktur peradaban yang dibangun oleh nenek moyang mereka. Meskipun sekara hal itu hanya bisa dijumpai dalam teks-teks sejarah.[19] Orang Barat, kata Mernissi, menjadikan kematian sebagai bagian terakhir, sementara kaum muslimin menjadikannya sebagai menu utama. Mereka mengkonsumsi masa lalu sebagai hobby, sementara kita secara taat asas menjadikannya sebagai profesi.[20]
Orientasi yang berlebih-lebihan ke masa lalu membuat kaum muslimin terjajah oleh Barat, yang tidak hanya dalam pengertian fisik dan ekonomis melainkan dialami dalam pola pikir: cara perhitungan, kalkulasi dan evaluasi.[21] Pertama, orientasi yang berlebih-lebihan ke masa lalu membuat kaum muslimin memproyeksikan persoalan-persoalan kontemporer pada teks-teks kuno. Teks-teks tersebut bukan membantu, malah sebaliknya merintangi persoalan tersebut secara tepat. Kedua, di sisi lain, kaum muslimin dipaksa untuk menerima standar-standar yang dibuat Barat.[22]

LATAR BELAKANG HISTORIS KEMUNCULAN HADITS

Melalui kerangka pandangan demikian, Mernissi mencoba menelusuri penyebab ketersudutan perempuan sepeninggal Nabi. Menurut Merniss, hal ini disebabkan oleh banyaknya hadits-hadits palsu bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa Nabi.
Karena persoalan hadits baru muncul setelah wafatnya Nabi, Mernissi menelusuri jejak persoalan jauh ke belakang, yakni situasi yang terjadi pada hari-hari setelah kematian Rasulullah, khususnya menyangkut masalah kepemimpinan ummat. Masalh ini, menurut Mernissi menjadi pemicu utama ketegangan yang berlarut-larut antara pemegang otoritas di kalangan muslimin. Fakta sejarah menyatakan bagaimana gara-gara persoalan kepemimpinan itu jenazah Nabi, yang meninggal pada hari senin, baru dimakamkan pada rabu malam.[23]
Berdasarkan anlisisnya atas berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu, terutama berkaitan dengan pemilihan khalifah, Mernissi berkesimpulan bahwa suara kalangan elit lebih banyak mendominasi. Mereka berunding untuk mengamankan hal-hal yang essensial bagi mereka, dan ternyata hal yang essensial itu sangat beragam, bergantung kepada kepentingan para partisipan.[24]
Kondisi ini selanjutnya menggiring setiap kelompok kepentingan yang ada mencari “pembenaran” melalui teks-teks suci.[25] Semangat mencari pembenaran itulah yang pada gilirannya menimbulkan dua tendensi yang saling bertolak belakang dan tertengkar satu sama lain dalam penguraian hadist. Pada satu sisi terdapat kecenderungan para politisi lelaki untuk memanipulasi kesucian hadits, sementara pada sisi lain terdapta keinginan keras pada ulama untuk menentang para politisi tersebut melalui penguraian fiqh, dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah dan metode pengujiannya.[26] Semakin besar jumlah orang yang harus di pengaruhi atau disingkirkan semakin banyak kekerasan dan pertentangan terjadi di kalangan elit pemerintah, serta semakin tinggi kebutuhan untuk memanipulasi teks hadits demi pembenaran kepentingan.[27]
Mengenai pemalsuan hadits, dengan mengutip Qadi Iyad, Mernissi mengelompokkan dua tipe pemalsu hadits. Pertama, adalah mereka yang secara sengaja menisbahkan para nabi hal-hal yang sebenarnya tidak pernah beliau ucapkan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini; keuntungan ekonomis dan atau keuntungan ideologis. Kedua, adalah mereka yang memalsukan rangakaian sanad sehingga ada hadits yang menurut kategori sanad sebenarnya lemah, tapi diubah sedemikian rupa sehingga menjadi otentik dan hadits itu menjadi shohih.
Terlepas dari upaya Bukhari yang keras untuk menyeleksi hadits-hadis shohih, kenyataannya masih banyak juga hadits palsu yang sampai ke ummat Islam generasi berikutnya. Selain karena bias pribadi si perawi, inijuga disebabkan oleh persaingan  yang tak berkeputusan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam Islam: perebutan kekuasaan, pengaruh dan kekayaan.

HADITS MISOGINISTIK SEBAGAI FAKTA VERIFIKATIF

Berdasarkan asumsi tentang adanya kemungkinan bias pribadi dalam penyampaian hadits, selanjutnya Mernissi menjelaskan tentang hadits-hadits yang dia sebut sebagai hadits Misoginistik, yang sampai hari ini terus diabadikan dan bahkan disakralkan.
Berkaitan dengan hal ini perawi yang mendapat sorotan tajam adalah Abu Hurairah. Secara panjang lebar Mernissi menceritakan latar belakang kehidupan Abu Hurairah yang menyebabkannya bersikap antipati terhadap perempuan. Salah satunya, menurut Mernissi adalah karena dalam masyarakat Islam awal yang masih menyandang bias-bias patriarkisme, Abu Hurairah justru tidak mempunyai pekerjaan yang menunjukkan kejantanannya.[28] Selain menghabiskan sebagian waktunya bersama Rasulullah, Abu Hurairah mengisi sebagian lagi waktunya dengan membantu di rumah kediaman para wanita.[29] Dari itu bisa dimengerti alasan ketidaksukaan Abu Hurairah terhadap kaum wanita.
Yang mengherankan adalah Bukhari, yang dipuji oleh Mernissi karena keberhasilannya menyaring hadits palsu dan dari hadits shohih dan kritisme yang tinggi banyak memasukkan hadits-hadits misoginis yang diriwayatkan Abu Hurairah. Misalnya, Bukhari bukan hanya tidak memasukkan koreksi atas hadits “tiga hal yang membawa bencana ; rumah, wanita, dan kuda”, tetapi juga ia bersikap seolah-oleh tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi tentangnya. Bahkan ia mencatat hadits tersebut sebanyak tiga kali dengan rantai perawi yang berbeda.[30]
Selain hadits Abu Hurairah, Bukhari juga mencatat hadits-hadits misoginis lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, putera Umar bin Khattab yang terkenal karena sikap asketiknya. Mungkin karena pengaruh kualitas kesalehan pribadinya itu, Bukhari lantas menganggap Abdullah bin Umar sebagai sumber yang sangat berharga tanpa merasa perlu menerapkan kritik atasnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Anas, adalah hak kaum muslimin untuk bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam.[31]

URGENSI PENINJAUAN ULANG TERHADAP TRADISI ISLAM

Dengan landasan pemikiran tersebut di atas, mernissi mengajak pembaca untuk mengkaji ulang masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan, yang selama ini sudah dianggap selesai. Termasuk masalah yang cukup fundamental, hijab, yang menurut pengamatan Mernissi atas asbab al-nuzul ayat yang bersangkutan, sebenarnya merupakan pembatas antara dua pria, yakni Rasulullah dan Anas bin Malik, seorang sahabat yang bertamu ke rumah nabi pada hari pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy.
Dari sini, Mernissi kemudian membahas tentang konsep ruang yang diterpkan nabi. Rumah yang ditempati nabi dan keluarganya, menurut Mernissi mencerminkan pembauran antara ruang pribadi dan ruang publik meskipun di satu sisi ini menjadi sumber kekuatan yang dibutuhkan nabi, namun di sisi lain hal ini seringkali menghambat beliau mengambil langkah-langkah yang revolusioner.
Di satu pihak nabi membiarkan pembauran ruang ini terus terjadi sepanjang hidup beliau. Tetapi di pihak lain, cara hidup yang demikian menjadi ancaman bagi supremasi pria yang hanya bisa dipertahankan jika pembagian ruang pribadi dan ruang publik dipertahankan.[32]
Mernissi melimpahkan tanggung jawab pewajiban perempuan memakai hijab dan patuh kepada suami, kepada Umar bin Khattab. Umar, yang diakui memiliki sifat-sifat yang mengagumkan namun sekaligus memiliki sikap keras terhadap perempuan,[33] dinilai Mernissi sebagai wakil kelompok yang menolak prinsip egalitarianisme yang dibawa nabi, dan sekaligus mendukung status quo. Secara tegas Mernissi menempatkan Umar dalam posisi berhadapan dengan Rasulullah, tidak hanya dalam beberapa sifat pribadi, tetapi juga dalam penyikapan terhadap masalah yang berkaitan dengan perempuan pada masa itu.
Yang mengherankan, menurut Mernissi, adalah mengapa sikap Rasulullah yang demikian itu, dewasa ini terasa asing dan bahkan aneh, bagi kebanyakan kaum muslim setelah wafat. Mernissi kemudian mengemukakan tokoh Sukaynah, yang dianggap sebagai figur ideal perempuan Islam. Sukaynah yang menurut Mernissi menolak hijab dianggap sebagai simbol pemberontakan perempuan terhadap penindasan dan segala sesuatu yang mengekang kebebasan individu.[34]

SKETSA PEMIKIRAN FATIMA MERNISSI TENTANG POSISI WANITA DALAM TRADISI ISLAM

a.    Corak Pemikiran Mernissi diwarnai oleh kontak dia dengan realitas perlakuan terhadap wanita. Islam yang secara normatif menghargai kebebasan individu, ternyata muncul sebagai tradisi yang sangat merendahkan posisi wanita. Hal ini membentuk sikap ambivalen dan kritis terhadap tradisi Islam yang berkaitan dengan wanita.
b.   Orientasi terhadap waktu adalah kunci pertumbuhan peradaban. Orientasi kaum muslimin yang terlalu cenderung kepada masa lalu masa lalu identik dengan teks yang disakralkan menimbulkan something wrong dalam peradaban muslim, termasuk bagaimana tradisi Islam memperlakukan wanita.
c.    Untuk itu mengkaji latar belakang historis awal pertumbuhan teks-teks hadits yang mewarnai tradisi Islam mutlak diperlukan. Berdasarkan kajian terhadap fakta sejarah yang ada dapat disimpulkan bahwa munculnya teks-teks hadits sangat diwarnai oleh konflik kepentingan elit penguasa yang pada gilirannya membawa bias pribadi pada perawi.
d.   Kesimpulan tersebut diperkuat dengan munculnya hadits-hadits misoginistik, yang sangat diwarnai oleh bias patriarki. Hadits-hadits seperti ini sepenuhnya bertentangan dengan pesan egalitarianisme yang dibawa nabi, oleh karena itu harus ditolak.
e.    Kesimpulan diatas mengandung konsekuensi bahwa pada akhirnya seluruh tradisi Islam menuntut untuk dikaji ulang, khususnya yang berkenaan dengan posisi wanita dalam Islam. Selanjutnya sangat diperlukan untuk mengkaji lebih jauh sejarah wanita yang pernah muncul sepanjang perkembangan tradisi.
Secara ringkas kerangka pemikiran Mernissi dalam melihat posisi wanita dalam tradisi Islam dengan skema di bawah ini:
Latar belakang kehidupan ----à Realitas perlakuan terhadap wanita Arab Islam vs Barat Modern.
Landasan Filosofis --------à Orientasi terhadap waktu sebagai titik tolak peradaban. Kaum muslimin cenderung berorientasi ke masa lalu, yang berwujud teks yang disakralkan.
Asumsi yang dibangun sebagai kerangka teoritis -----à Kemunculan teks-teks hadits sangat diwarnai oleh konflik  kepentingan elit e. g. hadits sebagai alat justifikasi, bias pribadi dalam tradisi hadits.
Verifikasi teori --------à Analisis terhadap pribadi tokoh membuktikan adanya bias patriarkisme sehingga muncul hadits misoginistik yang terlanjur disakralkan.
Konsekuensi ----------à Seluruh tradisi Islam terutama yang berkaitan dengan wanita perlu dikaji ulang e.g. hijab, sejarah tentang wanita Islam dll.
Wallahu a’lam bi al-sawab.

BIBLIOGRAFI
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995.
Agustina, Nurul, Tradisionalisme Islam dan Feminisme dalam Ulumul Qur’an edisi khusus no. 5 & 6 vol. V, 1994.
Faqih, Mansur, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Yogyakarta: Risalah Gusti, 1986.
Hasani, al, Ahmad  Zahro, Islam dan Perempuan (Diskursus Islam, Pemikiran R.A. Kartini dna Feminisme, dalam Mansur Faqih.
Megawangi, Ratna, Feminisme: Menindas Ibnu Rumah Tangga, dalam Ulumul Qur’an edisi khusus No. 5 & 6 vol. V, 1994.
Mernissi, Fatima, Islam dan Demokrasi,: Antologi Ketakutan, terjemahan dari Islam and Democracy:  Fear of The Modern World, Yogyakarta: LKIS, 1994.
_______, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terjemahan dari The Forgotten Quint of Islam, Bandung: Mizan, 1994.
________, Wanita dalam Islam, terjemahan dari Women and Islam: an Historical and Theological Enquiry, Bandung: Pustaka, 1994.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Bandung: Mizan, 1996.
Rahman, Budi Munawar, Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan, dalam Mansur Faqih, dkk., Diskursus Gender Perspektif Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.


[1]Budi Munawar-Rahman, Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada kesetaraan, dalam Mansur Faqih, dkk., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 3
[2]M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 3
[3]Mansur Faqih, Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender, dalam Mansur Faqih dkk., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Yogyakarta: Risalah Gusti, 1986), hal. 37
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ahmad Zahro al-Hasani, MA, Islam danPerempuan (Diskursus Islam, Pemikiran R.A. Kartini dan Feminisme), dalam Mansur Faqih, Ibid., hal. 264
[7]Mansur Faqih, Posisi…..,hal. 37
[8] Ibid., hal. 38
[9]Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan (terjemah dari Islam and Democracy: Fear of The Modern World), (Yogyakarta: LKIS, 1994),hal. 73-74
[10]Mernissi, Wanita dalam Islam, terjemah dari Woman and Islam an Historical and Theological Enquiry, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 79
[11]Mernissi, Wanita……,hal.61
[12]Ibid., hal. 82
[13]Ibid
[14]Ibid
[15]Ibid., hal. 2
[16]Ibid., hal. xvii
[17]Ibid., hal. 19
[22]Ibid., hal. 24
[23]Ibid., hal. 24
[24]Ibid., hal. 48
[25]Ibid., hal. 53
[26]Ibid.
[27]Ibid., hal. 57
[28]Ibid.,91
[29]Ibid.
[30]Ibid.,hal. 97
[31]Ibid., hal. 98
[32]Ibid., hal. 141
[33]Ibid., hal. 180
[34]Ibid., hal. 243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar