(Sketsa
Pemikiran Fatimah Mernisi)
Islam,
sebagaimana diklaim oleh pemeluknya, merupakan agama universal. Oleh karena itu
kaum muslimin sering mengklaim bahwa Islam sha>lih} li kulli zama>n
wa maka>n. Bahkan lebih dari itu Islam dianggap ya’lu wala>
yu’la ‘alaihi. Klaim-klaim keagamaan seperti ini tentu saja wajar. Setiap agama
memiliki klaim-klaim sejenis.[1]
Akan tetapi
–bersamaan dengan perjalanan klaim tersebut— zaman terus menerus berubah. Apa
yang kita sebut baik dan benar di satu zaman, barangkali tidak berlaku lagi
zaman ini. Begitu pula, apa yang berlaku pada masa kini, mungkin tidak berlaku
lagi di masa depan. Dengan demikian klaim universalitas Islam, selalu mendapat
tantangan di setiap zaman. Pertanyaan yang bisa dimunculkan terhadap klaim
tersebut: apanya yang “selalu sesuai dengan zaman”? Apa yang “lebih tinggi”?
Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut bisa beragam dan tidaklah mudah untuk dirumuskan secara
eksak adalah Amin Abdullah umpamanya, yang menawarkan konsep
normatifitas-historisitas.[2]
Namun konsep tersebut tentu saja tetap berpeluang untuk dipertanyakan. Sebab
batas wilayah dan format hubungan diantara kedua dimensi tersebut –normatifitas
ajaran wahyu yang bersifat universal dan historisitas pengalaman kekhalifahan
manusia— pada dasarnya juga membutuhkan interpretasi historis terhadap dimensi
normatif.
Problem yang sama
muncul pada apa yang disebut womenissues, persoalan perempuan dalam masyarakat
Islam. Persoalan mendasar dalam membahas posisi wanita dalam Islam adalah
apakah kondisi dan posisi wanita di masyarakat Islam dewasa ini telah
merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam.
Respon umat Islam
tentang masalah ini, menurut Mansur Faqih, pada umumnya dapat dikategorikan
menjadi dua golongan utama.[3]
Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem
hubungan laki-laki perempuan di masyarakat saat ini telah sesuai dengan ajaran
Islam, karena itu tidak perlu diemansipasikan lagi.[4]
Lebih jauh Mansur Faqih menjelaskan bahwa golongan pertama ini menghendaki
status quo dan menolak untuk mempermasalahkan kondisi maupun posisi kaum
perempuan.[5]
Pernyataan Zakiah Daradjat bahwa “Islam tidak mengenal konsep feminisme, ajaran
Islam tentang perempuan sudah sangat jelas, tanpa perlu mendirikan feminisme”,[6]
barangkali cukup mewakili kelompok ini.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa kaum muslimat
dewasa ini berada dalam satu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak
adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum
muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek
kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi
melalui budaya dan syariat.[7]
Lebih jauh mereka menganggap bahwa posisi kaum muslimat dalam kenyataan di
masyarakat saat ini tertindas oleh suatu sistem dan struktural gender, dan
karenanya ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Disebabkan proses
ketidakadilan tersebut berakar pada ideologi yang didasarkan pada keyakinan
agama, maka upaya perjuangan ideologis adalah upaya dekonstruksi terhadap
tafsiran agama yang tidak adil.[8]
Salah seorang
eksponen penting dari kelompok kedua ini adalah Fatima Mernissi. Profesor
Sosiologi di Fakultas Sastra Universitas Muhammed V Maroko. Tulisan ini mencoba
mendiskripsikan mengapa dan bagaimana Mernissi menjelaskan posisi wanita dalam
tradisi Islam melalui kajian dia dalam buku Women and Islam: an Historical an
Theological Enqury. Kajian bersifat deskriptif reflektif berfokus pada buku
tersebut guna menemukan struktur pemikiran Mernissi tentang masalah posisi
wanita dalam tradisi Islam.
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN INTELEKTUAL
Fatima Mernissi
dilahirkan pada tahun 1940 di Maroko dan mendapatkan pendidikan pertamanya di
sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum nasionalis Maroko. Pada masa
remaja dia aktif dalam gerakan menentang kolonialime Perancis. Buku terkenalnya yang telah menempatkannya sejajar
dengan penulis-penulis perempuan lain adalah Beyond the Viel : Malle-Female Dynamics in Modern Moslem Society. Bukunya
yang sudah terbit di Indonesia adalah Ratu-ratu
Islam yang Terlupakan, Bandung, 1994, wanita Di dalam Islam, Pustaka, 1994
dan Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, Yogyakarta, 1994.
Banyak fakta yang
menarik dalam kehidupan Mernissi yang sedikit banyak ada kaitannya dengan
perkembangan intelektualitasnya, terutama sikapnya terhadap tradisi Islam dalam
hubungannya kehidupan wanita. Hal ini secara eksplisit dijelaskan sendiri oleh
Mernissi dalam beberapa bagian tertentu dari tulisannya. Dalam Islam dan
Demokrasi: Antologi Ketakutan, Mernissi menulis: “Aku dilahirkan di salah satu
harem terakhir di kota Fez pada tahun 1940, sesaat sebelum dinding-dinding
institusi yang terhormat itu mulai retak atas desakan modernisme.[9]
Sedangkan dalam
tulisannya Wanita dalam Islam Mernissi mengungkapkan secara detail empat fase
dari kehidupannya ; masa kanak-kanak, masa ramaja, masa dewasa dan
perkenalannya dengan peradaban Barat. Tentang masa kanak-kanak Menissi menulis:
Selama masa kanak-kanak saya memiliki hubungan yang sangat ambivalen
dengan al-Qur’an di sekolah al-Qur’an,
kami diajar dengan cara yang keras. Namun Islam bagi pikiran kanak-kanak saya,
hanya keindahan rekaan versi nenek saya yang buta huruf. Lalla Yasmina yang
telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis.[10]
Bersama Lalla Yasmina kami bisa bermain kata-kata dengan bebas. Sedangkan di
sekolah al-Qur’an, jika kami salah melafalkan, paling sedikit kami akan
menerima hukuman. Lalla Fatiha (sang guru) begitu terobsesi dengan pelafalan.[11]
Sikap ganda terhadap teks-teks suci ini melekat pada diri saya selama
bertahun-tahun.[12]
Pada masa remaja
Mernissi mulai berkenalan dengan sunnah, yang menurut pengakuannya, sempat
membuat dia terluka.
“Di sekolah menengah, pelajaran sejarah agama ditandai dengan pengenalan
dengan sunnah. Beberapa hadits yang bersumber dari kitab Bukhari, dikisahkan
oleh guru kepada kami, membuat hati saya terluka. Rasulullah mengatakan bahwa
“anjing, keledai dan wanita, akan membatalkan shalat seseorang apabila ia
melintas di depan mereka,menyeladiantara orang yang shalat dan kiblat”.[13]
Perasaan saya amat terguncang mendengar hadits semacam ini, …dan saya berkata
pada diri saya sendiri : bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan hadits semacam
itu, yang demikian melukai diri saya?[14]
Sikap emosional
serta kecenderungan memberontak terhadap apa yang terdapat dalam teks al-Qur’an
maupun al-Hadits, kemudian terbawa juga ketika ia menjadi dewasa.
“Bisakah seorang wanita menjadi pemimpin kaum muslimin?”, tanya saya
kepada pedagang sayur langganan saya, yang seperti halnya kebanyakan pedagang
sayuran di Maroko merupakan barometer opini masyarakat. “Naudzubillah min
dzalik”!, dia berseru dengan kaget … seorang langganan yang lain kemudian
menyerang saya dengan sebuah hadits yang diyakininya mematikan: “suatu kaum
yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh
kemakmuran”. Kami semua terdiam kalah dan marah, mendadak saya merasakan
kebutuhan yang mendesak untuk mengumpulkan informasi mengenai hadits tadi…[15]
Perkenalan
Mernissi dengan peradaban Barat Modern, semakin mempertajam sikap kritis
Mernissi terhadap tradisi keagamaan di dunai Isllam, terutama menyangkut
perlakuan terhadap wanita.
“… jutaan wanita Yahudi dan Kristen Sekarang ini menikmati privilese
ganda: hak asasi penuh di satu pihak dan akses kepada tradisi keagamaan
inspirasional di lain pihak sebagai seorang wanita Arab yang secara khusus
terpesona oleh cara-cara dimana orang di dunia modern mengelola dan
mengintegrasikan masa lampau mereka, saya senantiasa memperoleh kejutan ketika
mengunjungi Eropa dan Amerika. Mereka menjual diri mereka sebagai masyarakat
supra modern, dan saya menemukan betapa Yahudi dan Kristennya iklim budaya
mereka sesungguhnya”.[16]
Dari pengamatan
kita terhadap berbagai fakta tersebut setidak-tidaknya dapat ditarik kesan
bahwa pemikiran Mernissi sangat dipengaruhi oleh realitas perlakuan terhadap
wanita, sebagai fefleksi dari norma agama yang muncul dari dua tradisi yang
sangat berbeda; tradisi Arab Islam dan tradisi Barat Kristen. Kedua tradisi keagamaan
itu telah memberi warna terhadap dua peradaban besar yang satu sama lain sangat
kontras perkembangannya. Peradaban Barat Modern yang dilatarbelakangi tradisi
Kristen dan peradaban Arab Islam yang terkebelakang sebagai perwujudan
norma-norma agama Islam.
WAKTU SEBAGAI KUNCI PERADABAN
Secara filosofis
Marnissi membahas pandangan kaum muslimin dewasa ini tentang sejarah dan masa
depan, dalam rangka membangun kerangka pandangan terhadap tradisi yang
berkembang di dunia Islam.
Menurut Mernissi,
dengan mengutip Serge Moscovici, keberhasilan Barat membangun peradaban dunia
modern adalah karena transformasi pandangan mereka mengenal waktu.[17]
Barat menguasai waktu dengan menetapkan masa depan sebagai orientasi, ke arah
mana segenap energi kreatif dikerahkan “Kita waktukan segala sesuatu”, demikian
Mascovici, sebagaimana dikutip Mernissi.[18]
Disinilah letak
perbedaanantara masyarakat Barat dan kaum muslimin. Keterpekaan kaum muslimin
pada kematian membuat hari ini dan masa depan hanya sebagai selingan dalam kehidupan
mereka. Orientasi kaum muslimin adalah masa lalu, dalam struktur peradaban yang
dibangun oleh nenek moyang mereka. Meskipun sekara hal itu hanya bisa dijumpai
dalam teks-teks sejarah.[19]
Orang Barat, kata Mernissi, menjadikan kematian sebagai bagian terakhir,
sementara kaum muslimin menjadikannya sebagai menu utama. Mereka mengkonsumsi
masa lalu sebagai hobby, sementara kita secara taat asas menjadikannya sebagai
profesi.[20]
Orientasi yang
berlebih-lebihan ke masa lalu membuat kaum muslimin terjajah oleh Barat, yang
tidak hanya dalam pengertian fisik dan ekonomis melainkan dialami dalam pola
pikir: cara perhitungan, kalkulasi dan evaluasi.[21]
Pertama, orientasi yang berlebih-lebihan ke masa lalu membuat kaum muslimin
memproyeksikan persoalan-persoalan kontemporer pada teks-teks kuno. Teks-teks
tersebut bukan membantu, malah sebaliknya merintangi persoalan tersebut secara
tepat. Kedua, di sisi lain, kaum muslimin dipaksa untuk menerima
standar-standar yang dibuat Barat.[22]
LATAR BELAKANG HISTORIS KEMUNCULAN HADITS
Melalui kerangka
pandangan demikian, Mernissi mencoba menelusuri penyebab ketersudutan perempuan
sepeninggal Nabi. Menurut Merniss, hal ini disebabkan oleh banyaknya
hadits-hadits palsu bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa
Nabi.
Karena persoalan
hadits baru muncul setelah wafatnya Nabi, Mernissi menelusuri jejak persoalan
jauh ke belakang, yakni situasi yang terjadi pada hari-hari setelah kematian
Rasulullah, khususnya menyangkut masalah kepemimpinan ummat. Masalh ini,
menurut Mernissi menjadi pemicu utama ketegangan yang berlarut-larut antara
pemegang otoritas di kalangan muslimin. Fakta sejarah menyatakan bagaimana
gara-gara persoalan kepemimpinan itu jenazah Nabi, yang meninggal pada hari
senin, baru dimakamkan pada rabu malam.[23]
Berdasarkan
anlisisnya atas berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu, terutama
berkaitan dengan pemilihan khalifah, Mernissi berkesimpulan bahwa suara
kalangan elit lebih banyak mendominasi. Mereka berunding untuk mengamankan
hal-hal yang essensial bagi mereka, dan ternyata hal yang essensial itu sangat
beragam, bergantung kepada kepentingan para partisipan.[24]
Kondisi ini
selanjutnya menggiring setiap kelompok kepentingan yang ada mencari
“pembenaran” melalui teks-teks suci.[25]
Semangat mencari pembenaran itulah yang pada gilirannya menimbulkan dua
tendensi yang saling bertolak belakang dan tertengkar satu sama lain dalam
penguraian hadist. Pada satu sisi terdapat kecenderungan para politisi lelaki
untuk memanipulasi kesucian hadits, sementara pada sisi lain terdapta keinginan
keras pada ulama untuk menentang para politisi tersebut melalui penguraian
fiqh, dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah dan metode pengujiannya.[26]
Semakin besar jumlah orang yang harus di pengaruhi atau disingkirkan semakin
banyak kekerasan dan pertentangan terjadi di kalangan elit pemerintah, serta
semakin tinggi kebutuhan untuk memanipulasi teks hadits demi pembenaran
kepentingan.[27]
Mengenai
pemalsuan hadits, dengan mengutip Qadi Iyad, Mernissi mengelompokkan dua tipe
pemalsu hadits. Pertama, adalah
mereka yang secara sengaja menisbahkan para nabi hal-hal yang sebenarnya tidak
pernah beliau ucapkan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini; keuntungan
ekonomis dan atau keuntungan ideologis. Kedua,
adalah mereka yang memalsukan rangakaian sanad sehingga ada hadits yang menurut
kategori sanad sebenarnya lemah, tapi diubah sedemikian rupa sehingga menjadi
otentik dan hadits itu menjadi shohih.
Terlepas dari
upaya Bukhari yang keras untuk menyeleksi hadits-hadis shohih, kenyataannya
masih banyak juga hadits palsu yang sampai ke ummat Islam generasi berikutnya.
Selain karena bias pribadi si perawi, inijuga disebabkan oleh persaingan yang tak berkeputusan antara
kelompok-kelompok kepentingan dalam Islam: perebutan kekuasaan, pengaruh dan
kekayaan.
HADITS MISOGINISTIK SEBAGAI FAKTA VERIFIKATIF
Berdasarkan
asumsi tentang adanya kemungkinan bias pribadi dalam penyampaian hadits,
selanjutnya Mernissi menjelaskan tentang hadits-hadits yang dia sebut sebagai
hadits Misoginistik, yang sampai hari ini terus diabadikan dan bahkan
disakralkan.
Berkaitan dengan
hal ini perawi yang mendapat sorotan tajam adalah Abu Hurairah. Secara panjang
lebar Mernissi menceritakan latar belakang kehidupan Abu Hurairah yang
menyebabkannya bersikap antipati terhadap perempuan. Salah satunya, menurut
Mernissi adalah karena dalam masyarakat Islam awal yang masih menyandang
bias-bias patriarkisme, Abu Hurairah justru tidak mempunyai pekerjaan yang
menunjukkan kejantanannya.[28]
Selain menghabiskan sebagian waktunya bersama Rasulullah, Abu Hurairah mengisi
sebagian lagi waktunya dengan membantu di rumah kediaman para wanita.[29]
Dari itu bisa dimengerti alasan ketidaksukaan Abu Hurairah terhadap kaum
wanita.
Yang mengherankan
adalah Bukhari, yang dipuji oleh Mernissi karena keberhasilannya menyaring
hadits palsu dan dari hadits shohih dan kritisme yang tinggi banyak memasukkan
hadits-hadits misoginis yang diriwayatkan Abu Hurairah. Misalnya, Bukhari bukan
hanya tidak memasukkan koreksi atas hadits “tiga hal yang membawa bencana ;
rumah, wanita, dan kuda”, tetapi juga ia bersikap seolah-oleh tidak ada yang
perlu dipertanyakan lagi tentangnya. Bahkan ia mencatat hadits tersebut
sebanyak tiga kali dengan rantai perawi yang berbeda.[30]
Selain hadits Abu
Hurairah, Bukhari juga mencatat hadits-hadits misoginis lain yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar, putera Umar bin Khattab yang terkenal karena sikap
asketiknya. Mungkin karena pengaruh kualitas kesalehan pribadinya itu, Bukhari
lantas menganggap Abdullah bin Umar sebagai sumber yang sangat berharga tanpa
merasa perlu menerapkan kritik atasnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh
Malik bin Anas, adalah hak kaum muslimin untuk bertanya tentang hal-hal yang
berkaitan dengan Islam.[31]
URGENSI PENINJAUAN ULANG TERHADAP TRADISI
ISLAM
Dengan landasan pemikiran
tersebut di atas, mernissi mengajak pembaca untuk mengkaji ulang
masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan, yang selama ini sudah dianggap
selesai. Termasuk masalah yang cukup fundamental, hijab, yang menurut
pengamatan Mernissi atas asbab al-nuzul
ayat yang bersangkutan, sebenarnya merupakan pembatas antara dua pria, yakni
Rasulullah dan Anas bin Malik, seorang sahabat yang bertamu ke rumah nabi pada
hari pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy.
Dari sini,
Mernissi kemudian membahas tentang konsep ruang yang diterpkan nabi. Rumah yang
ditempati nabi dan keluarganya, menurut Mernissi mencerminkan pembauran antara
ruang pribadi dan ruang publik meskipun di satu sisi ini menjadi sumber
kekuatan yang dibutuhkan nabi, namun di sisi lain hal ini seringkali menghambat
beliau mengambil langkah-langkah yang revolusioner.
Di satu pihak
nabi membiarkan pembauran ruang ini terus terjadi sepanjang hidup beliau.
Tetapi di pihak lain, cara hidup yang demikian menjadi ancaman bagi supremasi
pria yang hanya bisa dipertahankan jika pembagian ruang pribadi dan ruang
publik dipertahankan.[32]
Mernissi
melimpahkan tanggung jawab pewajiban perempuan memakai hijab dan patuh kepada
suami, kepada Umar bin Khattab. Umar, yang diakui memiliki sifat-sifat yang
mengagumkan namun sekaligus memiliki sikap keras terhadap perempuan,[33]
dinilai Mernissi sebagai wakil kelompok yang menolak prinsip egalitarianisme
yang dibawa nabi, dan sekaligus mendukung status
quo. Secara tegas Mernissi menempatkan Umar dalam posisi berhadapan dengan
Rasulullah, tidak hanya dalam beberapa sifat pribadi, tetapi juga dalam
penyikapan terhadap masalah yang berkaitan dengan perempuan pada masa itu.
Yang
mengherankan, menurut Mernissi, adalah mengapa sikap Rasulullah yang demikian
itu, dewasa ini terasa asing dan bahkan aneh, bagi kebanyakan kaum muslim
setelah wafat. Mernissi kemudian mengemukakan tokoh Sukaynah, yang dianggap
sebagai figur ideal perempuan Islam. Sukaynah yang menurut Mernissi menolak
hijab dianggap sebagai simbol pemberontakan perempuan terhadap penindasan dan
segala sesuatu yang mengekang kebebasan individu.[34]
SKETSA PEMIKIRAN FATIMA MERNISSI TENTANG
POSISI WANITA DALAM TRADISI ISLAM
a.
Corak Pemikiran Mernissi
diwarnai oleh kontak dia dengan realitas perlakuan terhadap wanita. Islam yang
secara normatif menghargai kebebasan individu, ternyata muncul sebagai tradisi
yang sangat merendahkan posisi wanita. Hal ini membentuk sikap ambivalen dan
kritis terhadap tradisi Islam yang berkaitan dengan wanita.
b.
Orientasi terhadap waktu
adalah kunci pertumbuhan peradaban. Orientasi kaum muslimin yang terlalu
cenderung kepada masa lalu masa lalu identik dengan teks yang disakralkan
menimbulkan something wrong dalam
peradaban muslim, termasuk bagaimana tradisi Islam memperlakukan wanita.
c.
Untuk itu mengkaji latar
belakang historis awal pertumbuhan teks-teks hadits yang mewarnai tradisi Islam
mutlak diperlukan. Berdasarkan kajian terhadap fakta sejarah yang ada dapat
disimpulkan bahwa munculnya teks-teks hadits sangat diwarnai oleh konflik
kepentingan elit penguasa yang pada gilirannya membawa bias pribadi pada
perawi.
d.
Kesimpulan tersebut
diperkuat dengan munculnya hadits-hadits misoginistik, yang sangat diwarnai
oleh bias patriarki. Hadits-hadits seperti ini sepenuhnya bertentangan dengan
pesan egalitarianisme yang dibawa nabi, oleh karena itu harus ditolak.
e.
Kesimpulan diatas mengandung
konsekuensi bahwa pada akhirnya seluruh tradisi Islam menuntut untuk dikaji
ulang, khususnya yang berkenaan dengan posisi wanita dalam Islam. Selanjutnya
sangat diperlukan untuk mengkaji lebih jauh sejarah wanita yang pernah muncul
sepanjang perkembangan tradisi.
Secara ringkas
kerangka pemikiran Mernissi dalam melihat posisi wanita dalam tradisi Islam
dengan skema di bawah ini:
Latar belakang
kehidupan ----à Realitas perlakuan terhadap wanita Arab Islam vs Barat Modern.
Landasan
Filosofis --------à Orientasi terhadap waktu sebagai titik tolak peradaban. Kaum muslimin
cenderung berorientasi ke masa lalu, yang berwujud teks yang disakralkan.
Asumsi yang
dibangun sebagai kerangka teoritis -----à Kemunculan
teks-teks hadits sangat diwarnai oleh konflik
kepentingan elit e. g. hadits sebagai alat justifikasi, bias pribadi
dalam tradisi hadits.
Verifikasi teori
--------à Analisis terhadap pribadi tokoh membuktikan adanya bias patriarkisme
sehingga muncul hadits misoginistik yang terlanjur disakralkan.
Konsekuensi
----------à Seluruh tradisi Islam terutama yang berkaitan dengan wanita perlu
dikaji ulang e.g. hijab, sejarah tentang wanita Islam dll.
Wallahu
a’lam bi al-sawab.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, M.
Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995.
Agustina, Nurul,
Tradisionalisme Islam dan Feminisme dalam Ulumul Qur’an edisi khusus no. 5
& 6 vol. V, 1994.
Faqih, Mansur,
Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Yogyakarta: Risalah
Gusti, 1986.
Hasani, al,
Ahmad Zahro, Islam dan Perempuan
(Diskursus Islam, Pemikiran R.A. Kartini dna Feminisme, dalam Mansur Faqih.
Megawangi, Ratna,
Feminisme: Menindas Ibnu Rumah Tangga, dalam Ulumul Qur’an edisi khusus No. 5
& 6 vol. V, 1994.
Mernissi, Fatima,
Islam dan Demokrasi,: Antologi Ketakutan, terjemahan dari Islam and
Democracy: Fear of The Modern World,
Yogyakarta: LKIS, 1994.
_______,
Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terjemahan dari The Forgotten Quint of Islam,
Bandung: Mizan, 1994.
________, Wanita
dalam Islam, terjemahan dari Women and Islam: an Historical and Theological
Enquiry, Bandung: Pustaka, 1994.
Murata, Sachiko,
The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought,
Bandung: Mizan, 1996.
Rahman, Budi
Munawar, Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan, dalam Mansur
Faqih, dkk., Diskursus Gender Perspektif Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995.
[1]Budi
Munawar-Rahman, Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada kesetaraan, dalam
Mansur Faqih, dkk., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 3
[2]M. Amin Abdullah,
Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal.
3
[3]Mansur Faqih,
Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender, dalam Mansur
Faqih dkk., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,
(Yogyakarta: Risalah Gusti, 1986), hal. 37
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ahmad Zahro
al-Hasani, MA, Islam danPerempuan (Diskursus Islam, Pemikiran R.A. Kartini dan
Feminisme), dalam Mansur Faqih, Ibid., hal. 264
[7]Mansur Faqih,
Posisi…..,hal. 37
[8] Ibid., hal. 38
[9]Fatima Mernissi,
Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan (terjemah dari Islam and Democracy:
Fear of The Modern World), (Yogyakarta: LKIS, 1994),hal. 73-74
[10]Mernissi, Wanita
dalam Islam, terjemah dari Woman and Islam an Historical and Theological
Enquiry, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 79
[11]Mernissi,
Wanita……,hal.61
[12]Ibid., hal. 82
[13]Ibid
[14]Ibid
[15]Ibid., hal. 2
[16]Ibid., hal. xvii
[17]Ibid., hal. 19
[22]Ibid., hal. 24
[23]Ibid., hal. 24
[24]Ibid., hal. 48
[25]Ibid., hal. 53
[26]Ibid.
[27]Ibid., hal. 57
[28]Ibid.,91
[29]Ibid.
[30]Ibid.,hal. 97
[31]Ibid., hal. 98
[32]Ibid., hal. 141
[33]Ibid., hal. 180
[34]Ibid., hal. 243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar