Pengertian Thaharah
Thaharah secara etimologi berarti annzhafah wannazaahah minal ahdats ‘Bersih dan suci dari berbagai hadats’. Kemudian para ulama sepakat bahwa pengertian thaharah menurut syara’ (terminologi islam) ada dua macam, yakni bersuci dari hadats dan bersuci dari kotoran (najis). Adapun media atau alat bersuci dalam bersuci adalah dengan menggunakan air dan tanah yang baik atau debu (Sha’id). Firman Allah Swt:
“…Dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit agar air itu dapat menyucikanmu...”(Q.S. Al- Anfal:11)
“…lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (bersih)…”(Q.S. Al-Maidah:6)
Para ulama sepakat bahwa air itu suci karena zatnya dan dapat menyucikan. Walau terdapat khilaf (perbedaan pendapat) mengenai air laut, namun demikian pendapat yang meragukan fungsi air laut sudah terbantah karena yang dimaksud dengan air adalah termasuk air laut. Disamping itu, ada hadits riwayat Malik yang menyatakan fungsi air laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Para ulama juga sepakat bahwa segala sesuatu yang dapat mengubah sifat air tidak menghapus kesucian air itu. Para fuqaha juga sepakat bahwa air yang rasa, warna dan baunya berubah karena sesuatu yang najis tidak dapat digunakan untuk bersuci atau wudhu. Selain itu fuqaha juga sepakat bahwa air yang banyak dan mengalir tidak dapat menjadi mutanajis selama salah satu sifatnya tidak berubah. Artinya air tersebut tetap suci. Itulah masalah-masalah yang disepakati tentang air, adapun mengenai hal-hal yang masih di perdebatkan perihal air, maka sekiranya akan dibahas dilain kesempatan.
Perihal alat bersuci selain air yakni sha’id yang berarti tanah. Ada yang berpendapat ia adalah tanah yang baik adapula yang mengatakan ia adalah setiap debu yang yang baik. Allah berfirman, “Bertayamumlah dengan sha’Id yang baik.” Terdapat khilaf mengenai makna dari sha’id , akan tetapi menurut para ahli bahasa dan itupun juga termasuk pendapat jumhur ulama, bahwa yang di maksud dengan sha’id adalah yang berada dipermukaan tanah, baik itu debu atau yang lain.
Kemudian perihal pengertian dari najis, najis adalah lawan kata dari thaharah, Najis adalah istilah untuk suatu benda yang kotor secara syar’i. Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah dan suci, oleh karenanya barangsiapa menyatakan suatu benda termasuk najis, maka harus bersertakan dalil yang kuat yang bisa dijadikan hujjah. Apabila tidak disertaka dalil yang kuat maka hukum benda tersebut kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci dan mubah, karena ketetapan hukum najis adalah hukum taklifi (pembebanan) yang bersifat umum. Karena itu tidak boleh memvonis najis kecuali dengan mengemukakan hujjah.
Tentang
benda apa saja yang termasuk benda najis, ada benda yang para ulama bersepakat
tentangnya ada pula benda yang masih terdapat perdebatan mengenai hukumnya
apakah termasuk benda najis ataupun tidak, diantara benda najis yang telah
disepakati para ulama adalah: Bangkai hewan darat yang berdarah, bangkai babi
tanpa mengaitkan sebab kematiannya, air liur anjing, darah hewan darat baik
hewan itu hidup atau mati, kotoran dan air seni manusia termasuk madzi dan
wadi. Sedangkan benda najis yang masih diperdebatkan adalah mani, khamer dan
najis yang sedikit.
II. Jenis-jenis Thaharah
Ulama membagi Thaharah Syar’iyah menjadi dua bagian:
Thaharah haqiqiyah yaitu thaharah dari al-hubts. Yakni najis. Najis ini terdapat pada tubuh, pakaian dan tempat.
Thaharah hukmiyah yaitu thaharah dari hadats. Hal ini khusus pada badan.
III. Macam-macam Cara Thaharah (Bersuci)
Bersuci dari najis (thaharah haqiqiyah) dapat dilakukan dengan cara mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati dan mengusap dengan air. Sedangkan mengusap dengan menggunakan beberapa batu atau benda suci lain yang tidak berharga, diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur. Adapun najis yang melekat pada dua sepatu dan sandal boleh diusap dengan rumput.
Bersuci dari hadats (thaharah haqiqiyah) dapat dilakukan dengan tiga cara : Wudhu, Mandi besar (Mandi Janabat) dan Tayamum sebagai pengganti dari wudhu dan mandi.
1. Wudhu
Wudhu secara etimologi berasal dari kata al-Wahdha’ah, yang artinya kebersihan dan kecerahan. Sedangkan wudhu secara terminologi islam wudhu adalah penggunanaan air pada anggota-anggota tubuh tertentu (yaitu wajah, dua tangan, kepala dan dua kaki) untuk menghilangkan apa yang menghalangi seseorang dari melaksanakan shalat dan ibadah yang lain. Ada 3 dalil yang menjadi dasar disyariatkannya wudhu.
Pertama, Berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, Alloh Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (Q.S. Al-Maidah:6)
Kedua, Berdasarkan Hadits
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
II. Jenis-jenis Thaharah
Ulama membagi Thaharah Syar’iyah menjadi dua bagian:
Thaharah haqiqiyah yaitu thaharah dari al-hubts. Yakni najis. Najis ini terdapat pada tubuh, pakaian dan tempat.
Thaharah hukmiyah yaitu thaharah dari hadats. Hal ini khusus pada badan.
III. Macam-macam Cara Thaharah (Bersuci)
Bersuci dari najis (thaharah haqiqiyah) dapat dilakukan dengan cara mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati dan mengusap dengan air. Sedangkan mengusap dengan menggunakan beberapa batu atau benda suci lain yang tidak berharga, diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur. Adapun najis yang melekat pada dua sepatu dan sandal boleh diusap dengan rumput.
Bersuci dari hadats (thaharah haqiqiyah) dapat dilakukan dengan tiga cara : Wudhu, Mandi besar (Mandi Janabat) dan Tayamum sebagai pengganti dari wudhu dan mandi.
1. Wudhu
Wudhu secara etimologi berasal dari kata al-Wahdha’ah, yang artinya kebersihan dan kecerahan. Sedangkan wudhu secara terminologi islam wudhu adalah penggunanaan air pada anggota-anggota tubuh tertentu (yaitu wajah, dua tangan, kepala dan dua kaki) untuk menghilangkan apa yang menghalangi seseorang dari melaksanakan shalat dan ibadah yang lain. Ada 3 dalil yang menjadi dasar disyariatkannya wudhu.
Pertama, Berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, Alloh Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (Q.S. Al-Maidah:6)
Kedua, Berdasarkan Hadits
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةَ أَحَدِ كُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Alloh tidak menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadats, sampai ia wudhu.”
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan shalat.”
Ketiga, Berdasarkan Ijma’. Para ulama umat ini telah sepakat, tidak sah shalat tanpa bersuci, jika dia mampu untuk mengerjakannya.
Hal-hal yang disyariatkan untuk berwudhu sebelum mengerjakannya antara lain: ketika hendak shalat, thawaf di baitullah dan ketika hendak menyentuh mushaf (membaca Al-Qur’an). Kemudian adapula hal yang dianjurkan untuk berwudhu sebelum mengerjakannya, yaitu antara lain: ketika hendak berdzikir kepada Allah SWT, ketika hendak tidur, bagi orang junub (ketika hendak makan, minum, tidur atau kembali berjima’), sebelum mandi, setelah memakan makanan yang dimasak dengan api, memperbaharui wudhu setiap kali hendak shalat.
2. Mandi Besar
Mandi besar (Ghusl) secara etimologi, ghusl ialah mengguyurkan air pada sesuatu. Adapun mandi, menurut terminologi islam, ialah menuangkan air yang suci pada seluruh badan dengan cara yang khusus.
“...dan jika kamu junub Maka mandilah..”(Al-Maidah:6)
Terdapat perkara-perkara yang mewajibkan mandi menurut cara yang syar’i, yang terrjadi karena hal-hal antara lain: keluarnya mani dengan syahwat, bertemunya dua kelamin, selesainya haid dan nifas, orang yang meninggal dunia dan orang yang baru masuk islam.
3. Tayamum
Tayamum secara etimologi adalah al-qashd (menuju). Kemudian tayamum secara terminologi islam bermakna, “Mengusapkan tanah ke wajah dan kedua tangan, dengan niat untuk melakukan shalat atau sejenisnya.”
“… dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(An-Nisa’:43)
Disyari’atkan tayamum adalah sebagai pengganti thaharah (wudhu dan mandi), dikarenakan uzur yang telah ditetapkan.
IV. Tujuan dan Hikmah Syariat Thaharah
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, yakni diantaranya:
- Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
- Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba. Nabi Saw bersabda: “Alloh tidak menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadats, sampai ia wudhu”
- Karena termasuk hal yang disukai Alloh, bahwasanya Alloh SWT memuji orang-orang yang bersuci, Firman-Nya:
“...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”(Al-Baqarah:222)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang hamba. Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Alloh di akhirat nanti. Thaharah juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan ibadah-ibadah kepada Alloh. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
V. Kesimpulan
Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada hamba sebelum melakukan ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa sesungguhnya islam sangat menghargai kesucian dan kebersihan sehingga diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya, hartanya serta lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan bab thaharah adalah bab pertama yang dibahas dalam setiap kitab fiqih yang ada. Waullahu ‘Alam.
Daftar Pustaka :
- Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, Pustaka Amani, cetakan 1.
- Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Al-I’tishom, cetakan 1.
- Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid,Salim Pustaka at-Tazkia, cetakan 3.
- Al-Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka as-Sunnah, cetakan 5.
- Bulughul Maram, Ibnu Hajar al-Asqalani, Pustaka as-Sunnah, cetakan 4 .
thanks
BalasHapus